Cukup lima ini saja, saya rasa. Selebihnya bisa dikembangkan sendiri. Yang penting untuk diingat adalah mental pemenang sebaiknya dimiliki/dijalankan juga oleh orangtua. Jadi sifatnya bukan 'perintah' kepada anak, tapi 'ajakan' yang dengan kata lain orangtua dan anak bermitra dalam menuju mental pemenang ini. Tentu akan lebih asyik.
Memang hal ini tak mudah. Saya harus akui. Saya sendiri alami hal ini dengan anak saya. Tapi, saya terus mencoba dan terus berinovasi dan berkreasi. Misalnya, ketika anak saya terjangkit game (pasti banyak anak-anak alami ini). Saya tidak langsung melarang. Saya justru pelajari game itu dan saya temukan hal-hal positif, yaitu tentang team work dan ada potensi menggali winner mentality.
"Ayah akan izinkan kamu main game ini, tapi kamu harus ikut kompetisi-kompetisi!" kata saya ketika itu. Anak saya pun akhirnya berkelana dari satu kompetisi ke kompetisi. Kadang-kadang dia kasih laporan, "Yah, aku menang nih ... dapet sertifikatnya ini."
Apakah saya cemas dengan kegemarannya ini? Ya, ada .... Namun, saya masih terus memantaunya. Khususnya mental pemenangnya. Misalnya, suatu hari ia bertanya soal bagaimana caranya supaya postur tubuhnya bisa lebih tinggi karena ia suka minder dengan postur tubuh teman-temannya yang besar-besar. Lantas saya bilang, "Coba pikirkan apa yang kamu miliki dan teman-teman kamu tidak miliki?"
Lalu dia jawab, "Iya sih, aku bisa main banyak alat musik."
"Nah, fokuslah pada hal itu. Tidak banyak anak lain yang bisa mainkan alat musik sebanyak kamu bisa!" jawab saya. Raut wajahnya pun jadi berubah lebih senang dan optimis.
Jadi, menurut saya, mempersiapkan pilihan perguruan tinggi memang penting. Namun, ada baiknya siapkan juga mental pemenang pada anak-anak. Sehingga ia tak perlu merasa down saat ia tidak bisa lolos ke perguruan tinggi idamannya. Pun, mental pemenang ini akan amat berpengaruh pada dirinya kelak saat mengarungi dunia kerja sesungguhnya.
Setidaknya, kita tak akan menemukan jawaban "Nggak sih ..." seperti ilustrasi percakapan ibu-anak di awal tulisan ini.Â
Ini hanya pendapat pribadi saya yang mungkin saja memang cocok atau tidak cocok bagi orang lain. Kebetulan anak saya sudah melewati masa itu. Saya berharap tulisan ini bisa memberi masukan yang bermanfaat. Salam pemenang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H