Mohon tunggu...
Arif Sujoko
Arif Sujoko Mohon Tunggu... -

Tulisan yang lebih lengkap bisa diakses di: http://opiniperikanan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stratifikasi Komoditas Ikan Hias, Bagaimana agar Tidak Bias?

29 April 2019   20:45 Diperbarui: 29 April 2019   20:47 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun ini, pertama kalinya survei perikanan budidaya Kabupaten Tulungagung menggunakan metode stratified sampling berdasarkan jenis komoditas, termasuk dalam survei produksi ikan hias. Metode ini konon merupakan metode yang digunakan Satu Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Saya katakan "konon", karena hingga saat ini saya belum mendapatkan informasi secara formal tentang metode yang digunakan Satu Data KKP, beberapa informasi hanya mengalir secara informal.

Apapun metode samplingnya, untuk mengestimasi di tingkat populasi tetap menggunakan raising factor. Dalam hal ini, variabel jumlah RTP atau luas lahan budidaya bisa menjadi raising factor. Namun, untuk mengestimasi produksi, raising factor umumnya menggunakan variabel luas lahan, yaitu jumlah luas lahan populasi dibagi jumlah luas lahan sampel. Jumlah produksi sampel kali raising factor akan menjadi estimasi produksi di tingkat populasi.

Estimasi menggunakan raising factor sangat ditentukan oleh dinamika populasi, dalam hal ini adalah perubahan luas lahan budidaya di tingkat populasi. Dinamika populasi yang tidak disikapi dengan benar, berpotensi menyebabkan bias dalam estimasi data populasi. Oleh karena itu, sebelum memberikan gambaran risiko bias dalam stratifikasi berdasarkan komoditas, khususnya pada komoditas  ikan hias, kita perlu memahami data base di tingkat populasi.

Luas lahan budidaya populasi diperoleh berdasarkan sensus pertanian. Untuk sensus 2013, DJPB tidak mendapat data luas lahan berdasarkan komoditas sehingga harus melakukan pemutakhiran. Karena jarak antara dua sensus adalah 10 tahun, data base luas lahan yang dimiliki Dinas Kelautan dan Perikanan(DKP) Kabupaten dianggap statis, sama selama dalam periode 10 tahun.

Apa konsekuensi dari asumsi statis ini? Konsekuensinya, estimasi produksi tingkat populasi seolah hanya dipengaruhi dinamika produktivitas dari lahan yang ada, sedangkan dinamika luas lahan, dalam arti berkurang, tetap, atau bertambah, dianggap tidak ada pengaruhnya terhadap estimasi produksi populasi.

Untuk melihat perkembangan data tersebut, BPS biasanya melakukan survei antar sensus, 5 tahun setelah sensus terakhir. Namun, sepanjang pengetahuan saya, sampai saat ini survei antar sensus pertanian dari BPS yang mencakup perubahan luas lahan per komoditas perikanan budidaya belum dilakukan. Artinya, KKP beserta DKP perlu melakukan survei serupa, untuk melihat dinamika luas lahan per komoditas di tingkat populasi.

Tanpa survei ini, luas lahan akan diasumsikan statis. Asumsi luas lahan  statis untuk budidaya ikan konsumsi mungkin relatif masih memadai, tetapi untuk budidaya ikan hias air tawar, asumsi ini sangat rentan menyebabkan bias pada estimasi produksi di tingkat populasi. Oleh karena itu, perlu survai untuk mengetahui dinamika data luas lahan. Sayangnya, karena sumber daya yang ada relatif terbatas, pelaksanaan survei  masih sulit dilakukan oleh DKP.

Kalau kita konsolidasikan lagi penjelasan di atas, maka untuk mengestimasi produksi perikanan budidaya digunakan raising factor. Oleh karena raising factor dibentuk oleh variabel luas lahan budidaya, baik sampel maupun populasi, keakuratan estimasi tergantung pada ada tidaknya perubahan yang relatif besar pada luas lahan populasi selama periode survei. Semakin besar perubahan tersebut, dan karena tidak ada survei dinamika luas lahan dalam periode yang sama, maka semakin bias hasil ertimasi produksi, demikian juga sebaliknya.

Untuk memberikan ilustrasi, ada baiknya diberikan contoh survei periode Januari -- Maret 2017, misalnya untuk komoditas ikan hias lemon. Jumlah produksi sampel 1.000 ekor, luas lahan sampel 100 m2, luas lahan populasi yang tercatat 10.000 m2. Dari contoh tersebut raising factor adalah 100, sehingga estimasi produksi populasi adalah 100.000 ekor.

Contoh ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam periode survei tersebut luas lahan populasi relatif statis, yaitu 10.000 m2. Andai luas lahan populasi ini sangat berbeda, karena sebagian besar beralih ke komoditas ikan hias lain, misalnya menjadi 5.000 m2, maka estimasi produksi populasi seharusnya tinggal 50.000 ekor. Oleh karena itu, dalam populasi yang sangat dinamis stratifikasi sampling berdasarkan komoditas akan cenderung bias apabila tidak ada survei untuk mengetahui pergerakan luas lahan populasi.

Lantas, apakah pembudidaya ikan hias bersifat dinamis atau statis? Survei triwulan I 2017 ini memberikan informasi tambahan tentang kedinamisan pembudidaya ikan hias dalam arti pergantian komoditasnya. 48 % dari sampel survei, mengalami pergantian komoditas ikan hias sehingga diduga luas lahan perkomoditas ikan hias juga mengalami perubahan yang relatif besar.

Hasil diskusi lapangan memberikan temuan bahwa secara umum pembudidaya ikan hias di Kabupaten Tulungagung sering melakukan pergantian komoditas karena masa budidaya hanya sekitar 1 bulan, mengikuti permintaan pasar yang berubah-ubah, dan ketersediaan induk dan benih yang tidak kontinyu, dimana pada satu waktu tersedia untuk komoditas tertentu, dan di waktu yang lain berganti komoditas yang berbeda.

Dari kondisi di atas, apabila kita tidak mampu melakukan survei pergerakan luas lahan per komoditas ikan hias, sementara luas lahan tersebut bergerak dengan sangat dinamis, maka stratifikasi sampling berdasarkan komoditas menyimpan potensi bias dalam estimasi produksi populasi. Oleh karena itu, kita perlu mendefinisikan ulang populasi pada kondisi yang relatif stabil.

Dalam hal ini populasi adalah pembudidaya ikan hias, tanpa dibuat subpopulasi pembudidaya ikan hias komoditas A, B, C dan seterusnya. Populasi ini relatif stabil karena luas lahan pembudidaya ikan hias relatif tidak berubah, walaupun komoditas yang dibudidayakan berganti-ganti. Metode ini juga bukan metode baru, mengingat sebelum era Satu Data, metode ini yang digunakan oleh DJPB. Hanya saja, karena keragaman komoditas relatif tinggi, dibutuhkan sampel dengan jumlah yang relatif besar.

Pelajaran lainnya, penggunaan metode sampling tunggal untuk seluruh kabupaten bisa menghasilkan bias, apabila karakteristik kegiatan budidaya di kabupaten berbeda-beda. Misal, pembudidaya ikan hias di kabupaten A jarang ganti komoditas, sehingga stratifikasi sampling berdasarkan komoditas adalah metode yang tepat. Sebaliknya, untuk kabupaten B yang pembudidaya ikan hias sering bergonta-ganti komoditas, metode yang sama berpotensi menghasilkan bias yang besar. Oleh karena itu, penggunaan metode tunggal perlu dikaji kembali pada daerah yang beragam seperti Indonesia ini.

Semoga bermanfaat.

Selesai ditulis di Tulungagung, 2 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun