Mohon tunggu...
Arif Sofianto
Arif Sofianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAIN Kudus

Saya punya hobi futsal dan voli

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Prinsip prinsip di dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah

18 Desember 2024   12:29 Diperbarui: 18 Desember 2024   12:39 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Prinsip prinsip di dalam penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah merupakan aspek penting yang memerlukan perhatian khusus, mengingat kompleksitas hubungan hukum dan prinsip-prinsip syariah yang mendasari transaksi perbankan tersebut. Dalam konteks perbankan syariah, sengketa seringkali berhubungan dengan perbedaan interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian, penyimpangan terhadap prinsip syariah, atau bahkan ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami prinsip dasar yang menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa di sektor ini. Artikel ini akan membahas prinsip dasar penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah, yang mencakup aspek hukum, etika, dan prosedural.

1. Prinsip Keadilan.

Prinsip pertama yang menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah keadilan (al-adl). Keadilan dalam perspektif syariah mengacu pada perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang terlibat dalam sengketa. Dalam konteks perbankan syariah, ini berarti bahwa semua pihak---baik nasabah, bank, maupun pihak ketiga---harus diperlakukan dengan adil dan tanpa diskriminasi. Penyelesaian sengketa harus berdasarkan prinsip kejujuran, transparansi, dan saling menghormati, dengan tujuan untuk mencapai solusi yang tidak merugikan salah satu pihak secara tidak wajar.

Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak hanya bergantung pada hukum positif, tetapi juga harus memperhatikan prinsip moralitas yang terkandung dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa, penyelesaian harus mengedepankan keadilan substansial dan tidak semata-mata formalitas hukum.

2. Prinsip Musyawarah.

Musyawarah atau konsultasi (shura) adalah prinsip kedua yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah. Prinsip ini merujuk pada ajaran Islam yang mengharuskan setiap keputusan yang diambil dalam suatu permasalahan melibatkan diskusi bersama antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah, musyawarah digunakan untuk mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak tanpa memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lainnya.

Penyelesaian sengketa yang mengedepankan musyawarah ini lebih menekankan pada pendekatan damai dan rekonsiliatif daripada konfrontatif. Dengan demikian, musyawarah menjadi salah satu metode utama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum melangkah ke proses hukum yang lebih formal. Lembaga seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), yang bertindak sebagai badan yang mengeluarkan fatwa terkait hukum perbankan syariah, juga sering berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.

3. Prinsip Keterbukaan dan Transparansi.

Dalam penyelesaian sengketa, keterbukaan dan transparansi (shafafiyyah) menjadi prinsip penting yang harus diterapkan oleh semua pihak yang terlibat. Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang jujur dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena informasi yang tidak terungkap. Dalam konteks perbankan syariah, hal ini bisa meliputi transparansi dalam hal prosedur penyelesaian sengketa, informasi tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta dasar hukum yang digunakan dalam menyelesaikan masalah.

Sebagai contoh, dalam perjanjian pembiayaan atau transaksi lain yang dilakukan oleh bank syariah, penting bagi bank untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada nasabah mengenai ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal pembiayaan, jangka waktu, bunga, dan ketentuan terkait lainnya. Ketika terjadi sengketa, prinsip ini membantu menghindari konflik lebih lanjut dengan memastikan semua pihak mengetahui hak dan kewajiban mereka.

4. Prinsip Akuntabilitas.

Penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah juga harus didasarkan pada prinsip akuntabilitas (mas'uliyyah). Setiap pihak yang terlibat dalam perbankan syariah, baik itu nasabah, bank, maupun regulator, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala keputusan dan tindakan yang diambil adalah sah, sesuai dengan hukum syariah, dan dipertanggungjawabkan.

Akuntabilitas ini mencakup kewajiban untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (judi). Dalam hal terjadi sengketa, pihak yang bertanggung jawab harus dapat menunjukkan bahwa tindakan mereka sesuai dengan prinsip syariah dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pihak yang berwenang atau lembaga penyelesaian sengketa.

5. Prinsip Kesepakatan dan Perjanjian.

Dalam perbankan syariah, setiap transaksi didasarkan pada akad atau perjanjian yang jelas dan sah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sangat bergantung pada kesepakatan awal antara pihak bank dan nasabah yang dituangkan dalam akad. Setiap sengketa yang muncul harus merujuk pada perjanjian yang telah disepakati, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah yang ada dalam akad tersebut.

Apabila terjadi sengketa terkait pelaksanaan akad, maka perlu dilihat apakah kedua belah pihak telah memenuhi kewajiban dan hak yang tercantum dalam akad. Dalam hal ini, prinsip "al-'amal bi al-'aqd" atau pelaksanaan perjanjian dengan baik dan benar menjadi dasar penting dalam menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, apabila terdapat ketidaksesuaian dengan ketentuan yang telah disepakati, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan hak-haknya sesuai dengan kesepakatan yang ada.

6. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga yang Kompeten

Dalam perbankan syariah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah atau mediasi dapat diajukan ke lembaga yang kompeten. Lembaga yang sering terlibat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah antara lain Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

BASYARNAS berfungsi sebagai lembaga arbitrase yang dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan cara yang lebih efisien dan menghindari proses peradilan formal yang mungkin memakan waktu lebih lama. Sedangkan DSN-MUI, melalui fatwa-fatwanya, memberikan panduan terkait prinsip-prinsip syariah dalam menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan akad-akad syariah, termasuk dalam transaksi perbankan syariah.

Kesimpulan dari judul artikel ini yaitu :

Penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah tidak hanya mengandalkan aturan hukum yang berlaku, tetapi juga harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang menekankan pada keadilan, musyawarah, keterbukaan, akuntabilitas, dan kesepakatan yang sah. Setiap sengketa harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip moral dan etika Islam, dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang tidak wajar bagi salah satu pihak dan mencapai solusi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, lembaga penyelesaian sengketa yang kompeten, seperti BASYARNAS dan DSN-MUI, berperan penting dalam memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa berjalan dengan adil, efisien, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun