Penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah juga harus didasarkan pada prinsip akuntabilitas (mas'uliyyah). Setiap pihak yang terlibat dalam perbankan syariah, baik itu nasabah, bank, maupun regulator, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala keputusan dan tindakan yang diambil adalah sah, sesuai dengan hukum syariah, dan dipertanggungjawabkan.
Akuntabilitas ini mencakup kewajiban untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (judi). Dalam hal terjadi sengketa, pihak yang bertanggung jawab harus dapat menunjukkan bahwa tindakan mereka sesuai dengan prinsip syariah dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pihak yang berwenang atau lembaga penyelesaian sengketa.
5. Prinsip Kesepakatan dan Perjanjian.
Dalam perbankan syariah, setiap transaksi didasarkan pada akad atau perjanjian yang jelas dan sah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sangat bergantung pada kesepakatan awal antara pihak bank dan nasabah yang dituangkan dalam akad. Setiap sengketa yang muncul harus merujuk pada perjanjian yang telah disepakati, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah yang ada dalam akad tersebut.
Apabila terjadi sengketa terkait pelaksanaan akad, maka perlu dilihat apakah kedua belah pihak telah memenuhi kewajiban dan hak yang tercantum dalam akad. Dalam hal ini, prinsip "al-'amal bi al-'aqd" atau pelaksanaan perjanjian dengan baik dan benar menjadi dasar penting dalam menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, apabila terdapat ketidaksesuaian dengan ketentuan yang telah disepakati, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan hak-haknya sesuai dengan kesepakatan yang ada.
6. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga yang Kompeten
Dalam perbankan syariah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah atau mediasi dapat diajukan ke lembaga yang kompeten. Lembaga yang sering terlibat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah antara lain Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
BASYARNAS berfungsi sebagai lembaga arbitrase yang dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan cara yang lebih efisien dan menghindari proses peradilan formal yang mungkin memakan waktu lebih lama. Sedangkan DSN-MUI, melalui fatwa-fatwanya, memberikan panduan terkait prinsip-prinsip syariah dalam menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan akad-akad syariah, termasuk dalam transaksi perbankan syariah.
Kesimpulan dari judul artikel ini yaitu :
Penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah tidak hanya mengandalkan aturan hukum yang berlaku, tetapi juga harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang menekankan pada keadilan, musyawarah, keterbukaan, akuntabilitas, dan kesepakatan yang sah. Setiap sengketa harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip moral dan etika Islam, dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang tidak wajar bagi salah satu pihak dan mencapai solusi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, lembaga penyelesaian sengketa yang kompeten, seperti BASYARNAS dan DSN-MUI, berperan penting dalam memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa berjalan dengan adil, efisien, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H