Dan waktumu disini sudah habis. Aku mencoba menghapus ketakutan. Kita berdua bertemu di emperan Langgar Pak Modin Parman. Tempat kita mengajar TPA setiap malam.
“Enggar nggak marah sama Anis kan?”, matamu memerah. Aku tahu, kau pun merasa kesedihanku.
Aku menggeleng.
“Tunggulah saat malam berwarna perak karena purnama, aku akan kembali untuk melunasi janji!”
“Janji apa?”
“Kamu memuliakan wanita. Kamu pasti mendapatkan wanita mulia yang memuliakanmu!”
Dan itu, kamu. Kata itu cukup berat keluar Nis, hanya sampai kerongkongan saja.
Lalu angin masih berhembus seperti kemarin, kau menghilang bersama jejak mulia ayahmu.
4
Tubuhku melemah, Nis. Tiga bulan yang lalu ibu sudah menasihatiku untuk tak menjadi marbot langgar. Untuk tak tidur di emperan, mengakhiri pola makan tak keruan, dan segera melupakan namamu. Modin Man pun sudah cukup lelah menemaniku menatap purnama. Semua orang se-desa sudah menvoniskugendheng. Bahkan pemuda teman SMA kita dulu selalu bersyukur ketika melihatku, karena mereka merasa beruntung tak mendapatkan kau dulu.
Namun, aku yakin. Kau wanita baik-baik. Waktu yang kuhabiskan masih terlalu singkat untuk menunggu wanita mulia yang ‘sebentar lagi’ menemuiku. Tapi aku tak tahu, seberapa ‘sebentar lagi’ menurut perasaanmu. Karena komponen semua itu relatif. Namun, percayalah, cintaku padamu multak. Hingga saat ini, esok, dan hari depan!