Mohon tunggu...
Arif Yudistira
Arif Yudistira Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Suka Ngopi, dan jalan-jalan heppy.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Ekologi

24 Maret 2024   11:02 Diperbarui: 24 Maret 2024   12:19 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber BBC Indonesia

Apa yang bisa kita bayangkan melihat hutan 600 Hektar dibabat kayunya dan mangkrak. Kita tahu, sementara elit-elit yang menjadi eksekutor hanya saling tuding akan kerusakan itu. Sementara keanekaragaman hayati, satwa-satwa menjadi korban dari pembangunan yang ugal-ugalan.

Apa yang dilakukan elit yang berdalih dengan kegagalan food estate di Kalimantan, menyusul Sumatera adalah buah dari lemahnya pendidikan ekologi. Pendidikan ekologi adalah pendidikan yang mendekatkan kembali antara manusia dengan alam. 

Secara bahasa ekologi berasal dari kata oikos yang berarti rumah atau tempat hidup, sementara logos artinya ilmu. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari organisme dan tempat hidupnya serta hubungan timbal balik antara lingkungan dengan organisme tersebut.

Pendidikan ekologi tidak hanya terbatas pada pengenalan lingkungan di sekitar kita semata, tetapi juga bagaimana menjaga keserasian, keselarasan dan kelestariannya.

Kesatuan 

Pengetahuan kita tentang alam sering dipisahkan oleh kotak-kotak atau sekat. Alhasil, kita menjadi sering memandang ilmu pengetahuan alam menjadi materialistis. Apa yang menguntungkan bagi manusia itulah yang akan dikerjakan dan diteruskan meski menerabas prinsip dan etika lingkungan hidup. Saya rasa ada benarnya yang dikatakan oleh Haidar Bagir (2022), " Ancaman serius dari teknologi modern juga menyasar pada sikap kita terhadap alam dan lingkungan. Hasrat yang hanya berorientasi capaian material telah membuat manusia melakukan eksploitasi alam secara berlebihan."

Kebutuhan dan hasrat manusia untuk hidup dan terbebas dari ancaman kelaparan, kemiskinan telah membuat manusia melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan alam sebagai organisme yang hidup.

Alam sebagai entitas yang tidak terpisah dari manusia kemudian hanya dianggap sebagai objek pembangunan dan industrial semata. Manusia Jawa memiliki kearifan dan kebijaksanaan dengan alam. Alam dianggap sebagai entitas yang menyatu, ia hidup merasuk bersama kehidupan sehari-hari.

Elisabeth Inandiak menulis bagaimana serasinya manusia Jawa terutama saat mengisahkan Merapi dan orang-orangnya melalui buku Babad Ngalor Ngidul (2016) juga dalam bentuk fiksi bertajuk Merapi Omahku (2011). Inandiak juga bercerita saat pemerintah berusaha membangun bendungan yang mencoba menahan wedhus gembel (awan panas). Pada akhirnya bendungan itu pun hancur seperti kakunya kesombongan manusia yang akhirnya ambruk.

Warisan Kearifan 

Polah tingkah elit kita hari ini yang lupa akan hubungan manusia dengan alam, menjadi refleksi kita untuk menggali dan mewariskan kearifan ekologi para nenek moyang kita di masa lalu.

Nenek moyang kita di masa lalu memiliki pelajaran, kearifan, dan kebijaksanaan memperlakukan alam. Dalam Babad Nitik Sultan Agung misalnya, kita masih bisa menemui bagaimana Raja (Sultan Agung), bertapa di Gunung Girilaya, sembari melihat dan meresapi tanda-tanda alam.

Dalam dunia pewayangan juga nampak simbol-simbol ekologi seperti hunung, sungai, maupun hutan yang sarat akan pesan moral tentang hubungan manusia dengan alam.

Pada naskah babad, dongeng, cerita di masa lalu, kita akan menemui sepetak kearifan yang dibentangkan oleh para aulia (pemimpin) yang peduli, serta membaca alam sebagai entitas yang menyatu dengan manusia.

Tantangan 

Pengajaran dan pendidikan ekologi di sekolah kita tidak boleh berhenti pada tatatan materialis dan pragmatis semata. Pendidikan ekologi harus mampu menanamkan kesadaran etik anak-anak kita bahwa alam adalah kesatuan yang perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan.

Mentalitet pragmatis dan materialis akan membawa pada kebijakan taktis yang hanya terpaku pada simbolisme dan pencitraan semata tetapi miskin pada praktik dan spiritnya.

Anak-anak kita perlu lebih banyak mendapatkan cerita, khazanah dan pelajaran tentang kearifan, teladan tentang bagaimana pemimpin (Raja) di masa lalu merawat dan meruwat alam.

Jangan sampai pendidikan ekologi menjadi direduksi hanya dengan menanam pohon semata tanpa menjaga, merawat dan membuat pohon itu terjaga. Paradigma pendidikan ekologi berbasis materialistik dan pragmatik cenderung pada pemenuhan kebutuhan manusia semata tanpa menimbang kelestarian makhluk hidup dan organismenya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun