Polah tingkah elit kita hari ini yang lupa akan hubungan manusia dengan alam, menjadi refleksi kita untuk menggali dan mewariskan kearifan ekologi para nenek moyang kita di masa lalu.
Nenek moyang kita di masa lalu memiliki pelajaran, kearifan, dan kebijaksanaan memperlakukan alam. Dalam Babad Nitik Sultan Agung misalnya, kita masih bisa menemui bagaimana Raja (Sultan Agung), bertapa di Gunung Girilaya, sembari melihat dan meresapi tanda-tanda alam.
Dalam dunia pewayangan juga nampak simbol-simbol ekologi seperti hunung, sungai, maupun hutan yang sarat akan pesan moral tentang hubungan manusia dengan alam.
Pada naskah babad, dongeng, cerita di masa lalu, kita akan menemui sepetak kearifan yang dibentangkan oleh para aulia (pemimpin) yang peduli, serta membaca alam sebagai entitas yang menyatu dengan manusia.
TantanganÂ
Pengajaran dan pendidikan ekologi di sekolah kita tidak boleh berhenti pada tatatan materialis dan pragmatis semata. Pendidikan ekologi harus mampu menanamkan kesadaran etik anak-anak kita bahwa alam adalah kesatuan yang perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan.
Mentalitet pragmatis dan materialis akan membawa pada kebijakan taktis yang hanya terpaku pada simbolisme dan pencitraan semata tetapi miskin pada praktik dan spiritnya.
Anak-anak kita perlu lebih banyak mendapatkan cerita, khazanah dan pelajaran tentang kearifan, teladan tentang bagaimana pemimpin (Raja) di masa lalu merawat dan meruwat alam.
Jangan sampai pendidikan ekologi menjadi direduksi hanya dengan menanam pohon semata tanpa menjaga, merawat dan membuat pohon itu terjaga. Paradigma pendidikan ekologi berbasis materialistik dan pragmatik cenderung pada pemenuhan kebutuhan manusia semata tanpa menimbang kelestarian makhluk hidup dan organismenya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H