Mohon tunggu...
Arif Yudistira
Arif Yudistira Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Suka Ngopi, dan jalan-jalan heppy.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bundaran HI, Oase Manusia Kota

21 November 2023   15:04 Diperbarui: 21 November 2023   15:07 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah empat hari pergi di Jakarta dan merasakan pengalaman menikmati view di Bundaran HI, saya seperti bertemu jodoh, saya membaca kumpulan feature Romo Sindhunata yang pernah terbit di Harian Kompas bertajuk Burung-Burung di Bundaran HI (2006).

Tetiba saja saya langsung tergerak untuk membaca ke halaman yang ada judul buku tersebut Burung-Burung di Bundaran HI.  Ada hasrat manusia kota untuk mencipta keindahan. Mencipta alam yang di desain tidak alamiah. Ada upaya untuk mengembalikan yang hilang dari alam. Pengelola kota Jakarta, mencoba untuk meletakkan burung-burung agar Bundaran HI yang terdiri dari bundaran dan air mancur itu bisa nampak lebih indah dengan hadirnya burung-burung. Sayang, Si Burung-Burung itu mungkin tak mampu menahan panasnya Jakarta dan asap ibu kota.

Pengalaman membaca feature Sindhunata itu mengingatkanku saat aku berkunjung ke Jakarta pada (11-15 November 2023). Selama empat hari itu pula saya seperti takjub dengan Bundaran HI. Saya seperti melihat manusia yang terus berdenyut, ekonomi yang terus berputar, nafas kota yang terengah-engah tak ada waktu buat tetirah.

Dari pagi hari sampai malam hari, Bundaran HI seperti tidak berhenti dari roda dua dan roda empat yang terus berputar mengitarinya. Saya seperti melihat Ka'bah. Taman itu memang seperti pusat kita untuk thawaf sejenak. Dengan thawaf itulah semoga kita makin ingat dan makin membawa kita pada kesadaran sebagai makhluk yang sejatinya ikut dan turut arus zaman yang deras.

Saya menikmati pemandangan Bundaran HI dari Hotel Indonesia, Campinsky. Hotel bersejarah yang kini menjadi sangat modern. Saya tertegun dengan airnya yang sangat segar. Saya tak sempat menanyakan kepada petugas hotel, air darimana itu Hotel kok bisa sesegar itu air minumnya.

Bersyukur saya sempat memotret pemandangan Bundaran HI dari atas.  Pemandangan dari atas hotel lantai 9 membuat Bundaran HI makin teras hidup. Halte Trans Jakarta yang tidak pernah surut dari penumpang, mobil kelas Alphard sampai mobil Avanza tidak pernah absen dari Bundaran HI setiap harinya. Pikiran saya melayang ke era Indonesia di masa depan. Tiba-tiba saya teringat desain kota Jakarta menggunakan AI lima atau sepuluh tahun ke depan.

Sistem transportasi yang terintegrasi, stasiun yang terhubung dengan terminal, terminal bus yang terkoneksi dengan Bandara Internasional. Meski saat ini belum sempurna betul, saya percaya cepat atau lambat hal itu akan segera mewujud di Jakarta.

Sumber Pixabay.com 
Sumber Pixabay.com 

Saya jadi berpikir, akankah Bundaran HI ini akan tetap ada? Atau kelak akan berubah jadi taman kota yang penuh dengan tetumbuhan yang hijau?. Ingatan saya melayang sebentar jalan-jalan ke negeri tetangga. Akankah Bundaran HI berubah total, dibongkar atau merujuk pada negeri tetangga kita, Singapura?

Saya takjub saat melihat Singapura memperhatikan tata kota dan transportasi publiknya jauh lebih dulu ketimbang di Indonesia. Membangun yang modern tidak selalu mudah dan kesusu. Ojo kesusu kalau kata Jokowi.

Membangun transportasi public yang bakal dikenang bahkan 100 tahun setelahnya jelas memerlukan waktu yang tidak singkat. Indonesia terlalu singkat membangun kereta cepat. Infra struktur belum matang, dananya utang, dan seperti kebut atau kejar setoran.

Sumber Pixabay.com
Sumber Pixabay.com

Di saat ruang terbuka hijau makin sempit, hadirnya taman atau ruang hijau di dalam transit transportasi public adalah bak surga. Anda akan merasa tenang, ada suasana damai saat melihat Changi Airport, Singapura. Singapura menawarkan satu estetika modern tentang bangunan public dan juga bangunan wisata yang menawarkan oase tersendiri.

Bundaran HI Malam Hari, Dokumentasi Pribadi
Bundaran HI Malam Hari, Dokumentasi Pribadi

Politis

 

Hasrat membuat sesuatu yang bersejarah, berbeda kadang terkalahkan dengan hasrat politis. Para Kepala Daerah/ Pemimpin Jakarta terlanjur tergesa-gesa ingin dicatat, dikenang dengan bangunan monumentalnya. Soekarno dengan Monasnya, Anis dengan JIS nya, dan lain sebagainya.

Hasrat politis tadi mengalahkan pada kualitas bangunan, efektifitas bangunan, sampai dengan seberapa filosofis bangunan itu di masa depan sering diabaikan.

Kota sebagaimana burung-burung yang diletakkan di Bundaran HI di tahun-tahun lampau di Jakarta kala itu membutuhkan Oase. Oase itu tidak sekadar menjadi penghilang penat atas rutinitas kerja, beban pikiran dan juga masalah psikologis manusia kota.

Ia adalah ruang untuk merenung, sejenak diam, sembari mensyukuri hidup yang singkat ini. Kita tidak tahu di kota mana kita akan tinggal setelah mati, kita tidak tahu di tempat macam apa kelak kita akan tinggal setelah lepas dari dunia ini. Tentu kita berharap pohon-pohon dan air mancur macam di Changi, atau hotel-hotel dan Pantai macam di Bali akan menjadi rumah kita kelak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun