Tepat pada 11 Maret 2012, tulisan pendek saya muncul di Lampung Pos. Esai itu bertajuk "Sumpah Menulis!". Saya mengutip kalimat pendek Pramoedya Ananta Toer, Aku telah, tetap dan akan terus menjadi pengarang. Kalimat pendek itu seolah jadi pemicu untuk menulis dan terus menulis. Saya menginsafi kisah Pramoedya menjadi pengarang adalah kisah perjuangan tanpa henti. Pram menulis dengan segenap daya dan upaya. Ia adalah pengarang prolifik yang cukup banyak menghasilkan karya.Â
Karya-karya Pram adalah anak zaman yang berhasil memotret keadaan, semangat zaman pada waktu itu. Ia lahir dan dibesarkan di masa revolusi, masa perjuangan yang panjang dalam meraih kemerdekaan pada waktu itu. Ia juga mengalami masa penindasan yang dilakukan Orde Baru. Orde Baru dicatat lekat dalam ingatannya sebagai rezim yang turut serta memberangus karya-karyanya.Â
Ketekunan dan juga buah dari kesabaran Pram akhirnya menghasilkan magnum opus yang dikenal kuartet Pulau Buru. Pram menulis menggunakan Bahasa Indonesia sebagai medium. Ia menggunakan diksi yang indah, serta imajinasi yang hidup tetapi tidak melupakan basis referensi yang kaya sebagai data.Â
Mau Belajar
Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang mau belajar. Ia belajar dari gurunya Idrus yang justru pada waktu itu cukup keras mengkritik karya Pram sebagai "kentut" belaka. Idrus tidak tahu bahwa Pram berguru padanya, belajar dari tulisan-tulisannya. Dalam perkembangan karya Pram, ia berproses, ia belajar. Sebagai penulis yang belajar, ia mau mempelajari tulisan para penulis lain. Pram sebagai pengarang juga menggunakan kegiatannya menulis sebagai aktivitas yang secara sadar bisa digunakan sebagai medium perjuangan.Â
Menulis, bagi Pram adalah alat sekaligus senjata untuk menyuarakan hati nuraninya. Pram dalam sebuah wawancara tulisan-tulisannya adalah ketegasan sikapnya sebagai sikap politik anti feodalisme, anti terhadap sikap menjilat pada kekuasaan. Pram juga lekat dengan pribadi yang mandiri, independen.
Sikap independensinya ia pegang sampai ia meninggal dunia.Â
Pram berjuang membesarkan adik-adiknya yang waktu itu harus ditanggung oleh dirinya saat orangtuanya meninggal. Pram melalui tulisan berhasil menjadi pribadi yang mandiri, tidak terikat pada siapapun. Ia berhasil berdiri tegak dengan karya dan tulisan-tulisannya.Â
Saya membayangkan seandainya Pram menjadi pribadi yang berhenti dan putus asa pasca buku dan koleksinya dibakar oleh tentara atau militer pada waktu itu. Ia mengalami satu keruntuhan besar, hati yang koyak saat apa yang sudah ia usahakan, dokumentasi yang cukup kaya dan lengkap tiba-tiba harus lenyap karena dibakar oleh militer Orde Baru.
Laku menulis Pram sangat dalam. Ia mengalami dan menggeluti proses menulis dengan membaca. Muhiddin M Dahlan dalam bukunya Ideologi Saya adalah Pramis (2016), Pram ditulis mendidik anaknya dengan membaca koran, menulis kosakata baru, mencatatnya dan mendokumentasikannya di buku catatan. Dari situ Pram nampak belajar tentang diksi secara riil. Ia menekuni kata-kata itu sebagai sesuatu yang memiliki daya.
Menulis itu adalah etos. Kompasiana menyediakan ruang yang cukup longgar dan memberi satu ruang untuk saling merespon, mengapresiasi dan menghargai tulisan. Keyakinan seorang penulis bahwa tulisannya akan dibaca adalah keyakinan yang penting. Saya begitu pula penulis lainnya di media apapun yakin dan meyakini bahwa tulisan mereka akan dibaca. Di Kompasiana, tulisan akan dibaca, diapresiasi dan direspon.
Di era media sosial yang kini mendominasi, menulis adalah aktivitas yang positif. Dengan menulis, kita tidak hanyut dalam arus media sosial yang sering jatuh pada arus informasi yang tidak jelas bahkan hoax. Menulis, menjadi alternatif kegiatan yang mampu menjadi gerakan sekaligus terapi.Â
Jatuhnya media-media cetak menuntut publik untuk menciptakan alternatif dan ruang baru untuk mempertemukan penulis dan pembaca. Media cetak yang terus berjatuhan menuntut penulis untuk mencari ruang yang bisa menjadi titik temu tulisannya dengan pembaca. Disanalah Kompasiana menjadi ruang untuk menjaga dan merawat etos, sikap dan suara penulis dengan pembaca.
Sebagai penulis yang menekuni isu pendidikan, anak dan politik, saya berharap tulisan-tulisan saya seperti ribuan penulis lainnya dibaca pembaca.  Saya berharap apa yang saya tulis membawa riak-riak kecil perubahan, meski waktunya lama, dan tidak tahu seberapa  besar perubahan yang diciptakan dari tulisan yang kita tulis.
Sampai kapan Kompasiana akan bertahan? Saya yakin, dengan terus merawat ruang pertemuan penulis, pembaca, Kompasiana akan terus bertahuan di ruang digital, memberi warna positif dan arus positif dalam kompleksitas media daring maupun cetak. 15 tahun adalah usia muda, masih panjang waktu untuk bergerak dan memupuk harapan dan cita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H