Mohon tunggu...
Arif Yudistira
Arif Yudistira Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Suka Ngopi, dan jalan-jalan heppy.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melawan Kekerasan di Sekolah

21 September 2023   00:20 Diperbarui: 21 September 2023   00:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada angin tidak ada hujan. Kamis (23/8/2023), seorang guru di SMP N 1 Sukodadi Lamongan tiba-tiba membuka jilbab belasan siswinya lalu mencukur rambutnya secara acak. Konon hal itu dilakukan karena siswinya tidak memakai ciput dalam jilbabnya. Problem kekerasan di dunia pendidikan kita seolah tak pernah usai. Murid sering menjadi korban dari sistem kebijakan di dunia pendidikan yang timpang.

Kekerasan di dunia pendidikan sering didorong dan didukung oleh adanya dominasi dan kekuasaan. Guru, kepala sekolah sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kuasa dan wewenang untuk menentukan kebijakan. Sementara murid hanya menjadi objek dan juga korban dari kebijakan.

Kebijakan pemaksaan pemakaian jilbab di lingkungan sekolah negeri menjadi kebijakan yang menunjukkan betapa otoritas pemangku kebijakan di pendidikan justru menggilas hak murid. Murid sebagai subjek pendidikan tidak diajak bermusyawarah, tidak diajak berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

Dalam kacamata Paulo Freire, kekerasan yang ada di dunia pendidikan membelah antara kelompok penindas dan kelompok yang ditindas. Ketidakmampuan murid membela hak-haknya dikarenakan dominasi kekuatan penindas (stake holder sekolah). Murid tidak hanya menjadi korban kebijakan tetapi juga obyek kebijakan yang pasif.

Dalam kasus belasan siswi yang digunduli gurunya karena tidak memakai ciput adalah contoh nyata betapa sekolah telah memperlakukan murid sebagai sosok yang pasif, sekaligus obyek di dunia pendidikan. Obyektifikasi di dunia pendidikan ini mengikis dialog, mengikis daya kritis dan rentan adanya kekerasan.


Mengajak

Keinginan Sang Guru melihat siswanya memakai jilbab (menjalankan syariat) dengan benar adalah baik. Namun cara mengajak muridnya yang justru menimbulkan trauma dan dengan kekerasan adalah salah. Agama Islam sendiri telah mengajari umatnya agar mengajak dengan hikmah dan kebaikan. Cara kekerasan dan paksaan justru tidak digubris oleh murid era sekarang.

Kejadian ini justru mengingatkan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh rezim Iran. Hadis Najafi ditembak 6 peluru saat berdemo tanpa memakai jilbab pada (21/9/2022) . Ia berunjuk rasa atas kematian Mahsa Amini tewas karena ditangkap polisi moral Iran karena tidak memakai jilbab.

Di Indonesia sendiri sejarah jilbab tidak pernah dilepaskan dari pengaruh budaya. Kita bisa melongok ke era Muhammadiyah di masa awal atau Nahdatul Ulama di era awal. Jilbab kala itu begitu longgar. Ia seperti kain yang diselempangkan ke rambut perempuan. Bukan hanya tidak perlu memakai ciput, justru masih banyak yang kelihatan rambutnya. Masyarakat pada waktu itu tidak ada yang protes, marah, atau mencukur rambut ulama perempuan di masa itu.

Kegagalan guru-guru kita memahami ajaran Islam yang indah, damai dan tanpa paksaan justru membuat kita menjadi guru yang memahami Islam dengan "kacamata kuda".Pemahaman keagamaan yang sempit justru membuat murid menjadi tidak simpatik dan traumatik seperti kasus siswi di Lamongan.

Payung Hukum

Kemendikbudristek Nadiem Makarim sejatinya sudah mengeluarkan Permendikbud nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Adanya peraturan ini sebenarnya sudah merinci bagaimana agar sistem di sekolah sampai tingkat pemerintah daerah, hingga kementrian mencegah dan menindaklanjuti bila terjadi kekerasan di lingkungan sekolah.

Pada pasal 6 misalnya telah dirinci bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan sexual, diskriminasi dan intoleransi bahkan kebijakan yang mengandung kekerasan. Keberadaan payung hukum ini tentu menjadi panduan bersama agar tidak lagi terjadi kekerasan di lingkungan pendidikan.
Apa yang menimpa belasan siswi di SMP Negeri di Lamongan menjadi pelajaran tentang perlunya pendidikan tanpa kekerasan kepada murid. Murid sebagai subjek pendidikan tidak selayaknya diperlakukan tidak manusiawi.

Guru harus menjadi aktor utama dalam pendidikan yang edukatif, kritis tanpa kekerasan. Kekerasan tidak hanya menimbulkan trauma di hati murid, tetapi justru membuat murid tidak simpatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun