Tepat hari Selasa, 22 Oktober 2019 di kantor Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) Semarang, Jawa Tengah, saya diberikan selembar Piagam Penghargaan dari MURI untuk kategori, "Guru yang Selama di Luar Negeri Menulis Catatan Harian di Blog Tanpa Henti Terlama." Terlama? Memang seberapa lama?
Agak panjang ceritanya...
Saya seorang guru yang sejak 7 Agustus 2017 mendapat kesempatan mengajar di Sabah, Malaysia sebagai seorang guru Community Learning Centre (CLC), semacam sekolah SD/SMP yang berindukan di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Malaysia.
Jangan bayangkan kehidupan di Sabah sama dengan Semenanjung (baca: Kuala Lumpur) yang sesak dengan gedung pencakar langitnya. Di tempat saya mengajar, Distrik Sandakan, lingkungan sekelilingnya dipenuhi dengan lautan Ladang Sawit.
Lalu bagaimana tentang kehidupannya?
"Menyenangkan". Bila kita mau menggali di setiap maknanya. Seperti menggali makna listrik yang hidup mati tidak 24 jam, sinyal datang dan pergi sesuka hati, atau melihat senyuman ular-ular cobra di pinggiran Sawit, atau jarak yang dari rumah ke kota terdekat 2,5 jam, atau cuaca panas yang sangat berbeda, atau apalah atau itulah.
Masih banyak. Itulah semangatnya. Itulah mengapa saya menulis catatan harian di blog. Karena setiap moment begitu berkesan. Dari awalpun saya sudah memprediksi akan "istimewa" dalam setiap kejadiannya, dan berniat untuk menuliskan setiap moment hari-hari itu. Kebetulan, dalam kontrak, kami tidak boleh pulang selama satu tahun ajaran sekolah sejak 7 Agustus 2017 hingga libur tiba pada 8 Juni 2018.
Waktu berlalu dengan terus menulis, tanpa sadar, catatan harian sudah terkumpul 305 hari. Dan selama itu, saya hidup di luar negeri. Awalnya, tidak terpikirkan untuk menorehkan rekor di MURI. Namun pada masa-masa akhir bertugas di Sabah, ada kawan bilang, "Gila loe ndro, masa Cuma tidur aja di tulis. Kayanya ini rekor deh, belum ada yang melakukannya."
Saya berfikir sejenak. Bagaimana perasaanya menjadi satu-satunya orang diantara 264 juta jiwa (2017) penduduk Indonesia yang melakukan suatu kegiatan, yaitu kegiatan yang tidak (belum) bisa dilakukan oleh orang lain? Kedengarannya luar biasa.
Proses panjang dilalui untuk mendapatkan rekor ini. Sejak 8 Juli 2019, proses pengajuan rekor di mulai. Sebenarnya sebentar keputusannya, yang lama adalah meminta semacam surat rekomendasi ke Organisasi Keguruan level Nasional yang pasti tidak akan mudah. Beberapa kali di tolak.Â
Namun, akhirnya surat itu saya dapatkan dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) yang kebetulan saya berhubungan baik dengan Presidennya: Mas Ryan. Terima kasih yang tak terkira atas bantuannya, Mas Pres.
Akhirnya, tapat tanggal 22 Oktober 2019 yang bertepatan dengan Hari Santri Nasional, Piagam Rekor MURI itu resmi saya dapatkan. Lalu, buat apa menjadi orang yang telah mencatatakan rekor? Jawabannya debateble. Tapi menurut saya pribadi, selembar piagam ini cukup untuk mengobati rasa lelah yang sudah susah payah dilakukan, yaitu menulis 305 hari di blog tanpa henti di luar negeri. Dan lagi, catatan harian ini sudah di terbitkan menjadi 2 buah jilid buku dengan total 108.353 kata. Alhamdulillah.
Finally, Thanks to : KBRI Kuala Lumpur, terutama Atikbud Prof Ari Purbayanto dan Pak Farid Di Maruf yang memberikan Kata Sambutan dalam 2 jilid buku. KJRI Kota Kinabalu yang mempermudah urusan selama di Sabah. Dan seluruh kawan guru-guru dan anak-anak Indonesa yang ada di sudut-sudut Sawitan Sabah.
Tidak lupa pada GTK Kemendikbud yang sudah memberikan kesempatan. Sukses untuk Mendikbud barunya. Semoga Indonesia Semakin Maju...
Semarang, 22 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H