Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bertani ala Milenial, Bisnis yang Tak Lekang hingga Akhir Zaman

2 September 2020   20:32 Diperbarui: 2 September 2020   20:30 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air Bersih, Pertanian dan Energi Terbarukan, inilah bisnis yang kata PBB, tak akan lekang hingga akhir zaman. Kabar bagusnya, kita punya modal besar untuk itu. Bahkan kata Koes Plus, air melimpah bak 'kolam susu', tanah subur dengan tongkat kayu yang bisa jadi tanaman. Dan belakangan, 'material' untuk energi terbarukan, semuanya juga tersedia tinggal diolah.

Cuma satu yang merupakan 'disabilitas' di negeri ini, bahwa kebanyakan kita amnesia, lupa dengan semua itu, lupa bahwa Indonesia punya segala yang dibutuhkan untuk mendorong terciptanya bisnis yang tak tergantikan ini.

Banyak yang menilai hasil tani atau perkebunan, tidak semenjual bisnis moderen. Cara pandang ini sebenarnya tak keliru, karena hasil tani kita belum digarap optimal, baik dari sisi input, proses maupun distribusinya. Jika ini diperbaiki, sebenarnya hasil panen kita jauh lebih prospektif dari pada bisnis-bisnis yang ada di perkotaan. Wacana ini saya dapatkan dari Anak Agung Gede Agung Wedhatama , kawan muda yang saya jumpai di pabrik pengemasan produk paska panennya.

"Kuncinya ada di hasil panen yang berkualitas, agar dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Apalagi pangsa pasarnya pun terbuka lebar secara global," katanya optimis.

Ia sudah menggeluti usaha ini tak lama setelah lulus kuliah di Yogyakarta, dan percaya atau tidak, justru kelelawarlah yang membawanya kini berprofesi sebagai petani. "Awalnya saya ketemu sebuah goa kelelawar di Yogyakarta, ada banyak sekali kotoran kelelawar atau Guano. 

Saya melihat itu adalah peluang, karena kotoran kelelawar ini sudah dimanfaatkan sejak 300 tahun lalu, tapi masih belum populer. Saya ingat waktu SD dulu, kita diajarkan bahwa pupuk terbaik adalah kotoran kelelawar, nah di Yogyakarta ini saya lihat jumlahnya banyak yang justru ditelantarkan," ceritanya akan awal mula ia merintis.

Faktanya kemudian, Agung mengetahui bahwa Guano di Indonesia justru di ekspor. "Kalau kita ingat tahun 80-an itu, kita mengejar swasembada sampai akhirnya terjadi eksploitasi tanah, penggunaan pupuk kimia, suplemen tanah kimia," kritik Agung pada proses ekstensifikasi yang justru dianggapnya merusak.

"Yang tadinya harus panen sekali setahun, jadi 4 kali setahun. Tapi itu semua cuma bertahan 20 tahun, setelah itu tanah kita rusak. Makanya kenapa Jepang, Korea atau Vietnam pertaniannya bagus, karena nature farm, organik. Kalau organik itu pelan tapi pasti, kalau kimia itu luar biasa cepat, tapi merusaknya juga luar biasa," katanya.

Latar belakang Agung Wedha yang jauh dari area agraria, membawa ia pada kawan-kawannya di Universitas Gajah Mada, agar bersedia melakukan riset untuk membuat pupuk cair dari bahan kotoran kelelawar. "Kalau pupuk cair dari Guano, ini saya yang pertama kali buat, sedangkan yang padat sebelumnya kan sudah ada di alam, tinggal ambil lalu diproses untuk dirubah ke bentuk granule.

Aplikasi produknya ini membuahkan hasil menakjubkan, tanaman Pare panjangnya bisa sampai 2 meter, buah Terong dengan pupuk cair ini juga hasil panennya berukuran besar. Hal ini bisa terjadi, karena dalam Guano, memiliki ZPT yang tinggi sekali, ini zat yang berperan untuk pertumbuhan dan mengandung NPK (nitrogen, fosfor dan kalium) yang memang dibutuhkan tanaman.

Untuk pupuk yang bukan cair, prosesnya juga mudah, cukup dijemur dengan bantuan sinar matahari, setelah itu difermentasi dengan mikroba, kemudian digiling sampai menjadi tepung, kemudian proses granulisasi dan terakhir dikemas.

Kabar baiknya, ada begitu banyak kotoran kelelawar yang ada di Jogjakarta, "Yang kita ambil ini baru lapisan luar saja, padahal itu menumpuk dan memfosil karena berusia ratusan tahun. Dan yang kita tambang itu juga bukan yang basah, melainkan yang sudah membatu," katanya.

Bukan hanya dari sisi hasil, dari biaya tanam dengan pupuk Guano dinilai lebih efisien. Penggunaan Guano itu bandingannya dengan kotoran sapi 1:25, jadi satu karung Guano, sama dengan 25 karung kotoran sapi. Untuk satu pohon mangga, hanya dibutuhkan Guano 10 kg saja dengan harga Rp. 3 ribu per kilo, berarti cukup dengan Rp. 30 ribu saja.

Dari sinilah Agung kemudian melebarkan langkahnya, ia turun ke petani untuk mengedukasi mereka akan pupuk cairnya. Yang justru ketika di lapangan, ia bersua dengan fakta baru yang mengiris hatinya. 

"Pada waktu saya memasarkan Guano, ternyata dalam perjalanannya saya menemukan beberapa masalah. Saat petani punya panenan yang bagus, tapi kesusahan untuk menjual. Ketika panen banyak, harga hasil panennya murah. Malah kadang panen dibiarkan saja karena harganya terlalu murah. Dari situ saya tersentak, tidak bisa kalau hanya fokus di hulu saja, karena walaupun saya buat produk pertaniannya bagus, dari pupuk yang bagus, tapi kalau penjualannya susah bagaimana?" pemikiran Agung membawa ia kemudian fokus memasui bisnis paska panen.

Ia memulai dengan Manggis di tahun 2016, ketika itu harganya cuma Rp. 1500 per kilo. Padahal ongkos untuk petik manggis saja sudah Rp. 1000 per kilo, jadi petani cuma dapat Rp. 500 rupiah per kilo hasil panen. Makanya manggis tidak pernah dipupuk dan dipelihara dengan baik, dibiarkan liar begitu saja. Agung kemudian mengurus ijin untuk ekspor manggis, yang ternyata itu satu-satunya ijin yang bisa keluar di Indonesia untuk mengekspor manggis ke Cina. 

Akhirnya Agung mulai memasarkan Manggis ke Cina. Ia mulai membeli Manggis ke petani dengan harga jauh lebih tinggi dari pasaran, otomatis para petani manggis menjual hasil panennya ke Agung. Apa yang ia lakukan, kemudian menggerek harga manggis menjadi lebih tinggi, sampai per 2017 akhir, harga manggis terus naik, malah belakangan, mencapai Rp. 40 ribu per kilo.

"Sekarang kalau dilihat petani manggis bisa beli motor, rumah, mobil pick up bahkan. Jadi ada nilai tambah kesejahteraan yang meningkat bagi petani," tuturnya bangga.

Pupuk Guanonya sendiri terus meluas, bahkan hingga ia batasi penjualannya. "Sebenarnya Vietnam minta banyak tetapi hanya saya kasih 1 kontainer per bulan dengan kemasan per 1 kilogram, totalnya 20 ton, tapi kalau kalau saya ikuti permintaan yang banyak tersebut, nanti buat lokal tidak ada lagi. Banyak negara-negara yang butuh Guano, Amerika, Rusia, karena mereka tahu organik itu solusi buat masa depan," tambahnya.

Belakangan, Agung mendirikan komunitas Petani Muda Keren (PMK), ia bentuk tahun 2018, ia seremonialkan di acara Farmer Camp pertengahan 2019 silam. Idenya sederhana, yakni menciptakan keguyupan, bahwa kekuatan petani itu harus bersatu. Selama terpecah-pecah, yang enak dan diuntungkan adalah buyer yang bisa membeli hasil panen dengan harga murah. Selain itu, komunitas ini juga untuk mengedukasi petani agar membuat produk organik dengan hasil panen berkualitas. Karena di petani kita, cukup banyak yang belum memahami ini.  

"Pupuk itu wajib, nyiram wajib, mangkas itu wajib. Kenapa petani kita hasil panen buah jeruknya banyak yang kores, buahnya ada yang besar dan kecil, karena tidak ada standarnya, buahnya dibiarkan banyak saja tidak diatur jumlahnya, sehingga pertumbuhan buahnya tidak maksimal. Misalnya kalau satu pohon berbuah 200, harus dikurangi 50 buah biar bisa besar semua, sama halnya dengan kalau kita punya ternak kambing kalau anaknya banyak pasti kecil-kecil, tapi kalau cuma 4-5 pasti besar-besar. Pemupukan juga tidak asal-asalan, kapan waktunya pakai Guano kapan pakai kotoran sapi, kapan waktunya vegetatif atau generatif, kapan nyemprot. Itu semua kita edukasi," ujar Agung.

Sebagai penggerak muda, Agung tak kalah dengan kemajuan digital, dengan keterampilan koding yang ia selaras dengan ilmu akademiknya, ia membuat aplikasi dengan nama FarmerApp. Jadi petani diajaknya masuk ke era 4.0. 

Dengan aplikasi ini, semua petani tahu kapan punya manggis, dan berapa berapa ton jumlahnya. Aplikasi ini juga memandu petani dalam bercocok tanam. 

Kalau petani mau nanam kentang, pada sore hari tinggal input datanya, jumlah lahan berapa, kapan mulai menanam, berapa harga bibitnya sesuai aplikasi, lalu submit. Setelah itu, mereka bisa cek kapan panen, berapa estimasi panennya, kapan harus nyiram, memupuk, semua ada notifikasinya. Dengan aplikasi ini, semua terkontrol, sesuai dengan SOPnya.

Saat ini, ia sudah memberdayakan ribuan petani, "kalau sudah musim buah, manggis misalnya, untuk di packing house saja sudah 300-an orang, belum yang on site di seluruh Bali (provinsi tempat Agung berdomisili saat ini), di mana isinya mulai dari petani, tukang sortir dan lain-lain. Kalau satu tempat ada 100 petani, dan kita punya sekitar 17 lokasi, maka total sudah ada sekitar 1700 orang. Jadi bisnis pertanian ini multiplier effect," tutupnya. 

Apa yang Agung Wedha lakukan, adalah role model untuk generasi milenial lainnya, terjun ke industri yang tak lekang oleh zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun