Bismillah,
Mencintai remaja di era sekarang bukanlah perkara mudah. Mereka hidup di tengah derasnya arus informasi digital, di mana tekanan dari media sosial, budaya populer, dan pergaulan semakin mengaburkan nilai-nilai tradisional. Sementara kita, para orang tua dan pendidik, sering kali merasa kewalahan menghadapi perubahan cepat dalam cara mereka berpikir, berbicara, dan bertindak. Namun, di balik semua itu, remaja tetaplah manusia muda yang sangat butuh cinta dan pengakuan, meskipun sering kali mereka tampak keras kepala, memberontak, atau tidak peduli.
Fenomena “digital native” (-sebutan untuk generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, sehingga mereka sangat akrab dengan teknologi-) telah mengubah cara remaja berinteraksi dengan dunia. Mereka hidup dengan ponsel di tangan, menjalin hubungan emosional dengan teman-teman maya yang kadang lebih mereka percayai daripada orang tua mereka sendiri.
Ini adalah realitas baru yang perlu kita hadapi. Sebagai orang tua dan pendidik, kita tak bisa lagi mengandalkan pola pengasuhan lama yang menuntut ketaatan mutlak. Remaja sekarang lebih kritis, lebih mandiri, dan lebih menuntut kebebasan. Namun, justru dalam situasi inilah kita harus belajar mencintai mereka lebih dalam—dengan pemahaman, bukan dengan tuntutan.
Mengapa memahami remaja menjadi kunci penting dalam mencintai mereka? Karena remaja bukanlah anak kecil lagi, tetapi juga belum sepenuhnya dewasa. Mereka berada dalam fase pencarian identitas yang penuh gejolak (karena hormon hormon yang tumbuh ).
Dalam pandangan psikologi perkembangan, fase ini dikenal sebagai masa storm and stress, di mana emosi mereka bisa meledak-ledak, keputusan mereka sering impulsif, dan mereka sangat peka terhadap penilaian orang lain. Namun, di sinilah letak tantangan terbesar bagi kita: bagaimana mencintai mereka dengan cara yang sesuai dengan dunia mereka yang serba cepat dan penuh tekanan ini?
Syaikh Ibn Qayyim Al-Jawziyyah dalam karyanya menekankan bahwa mendidik anak tidak boleh dilakukan dengan kekerasan atau paksaan, tetapi dengan kelembutan yang penuh hikmah. Beliau mengingatkan bahwa setiap anak, terutama remaja, harus diperlakukan sesuai dengan kondisinya., filasafatnya mengintegrasikan pendidikan spiritual dan moral, yang bertujuan untuk menumbuhkan karakter mulia dan jiwa yang tenang.
Syaikh Ibnu Qayyim menentang kekerasan dalam pendidikan, mempromosikan lingkungan pengasuhan yang menumbuhkan pemahaman dan perkembangan moral(Azhar et al., 2024). Jika kita hanya memaksa mereka untuk patuh tanpa memahami apa yang mereka alami, kita tidak akan pernah mendapatkan cinta dan kepercayaan mereka. Ini adalah tantangan bagi orang tua modern, yang kadang merasa terputus dari dunia remaja karena perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang mereka pegang.
Dalam studi yang diterbitkan oleh Journal of Adolescence, ditemukan bahwa remaja yang merasa dipahami oleh orang tua dan pendidik mereka cenderung lebih terbuka dalam berdiskusi tentang masalah mereka, serta memiliki tingkat kesejahteraan emosional yang lebih tinggi. Komunikasi terbuka antara orang tua dan remaja terkait dengan peningkatan kesejahteraan emosional dan psikologis(Dervishi et al., 2023).
Ini adalah bukti bahwa cinta yang disertai pemahaman dapat menjadi jembatan kuat dalam membangun hubungan yang sehat dengan remaja. Kita harus sadar bahwa remaja, meskipun tampak mandiri, tetap membutuhkan panduan dan cinta dari orang tua mereka.
Namun, memahami saja tidak cukup. Mencintai remaja juga berarti berani terlibat dalam dunia mereka, mendampingi mereka dalam perjalanan menemukan identitas diri. Jangan hanya sekadar menghakimi pilihan mereka atau membandingkan mereka dengan generasi kita dahulu.
Sebagai orang tua, kita perlu menciptakan ruang bagi remaja untuk berbicara, untuk berbagi kecemasan dan kebahagiaan mereka. Dalam Islam, Rasulullah SAW mencontohkan sikap mendengarkan yang aktif, bahkan kepada anak-anak, dengan memberikan perhatian penuh dan tidak mengabaikan kebutuhan mereka untuk didengar.
Di sinilah tantangan kita sesungguhnya: bagaimana mencintai tanpa merasa harus selalu benar? Mencintai remaja bukan tentang memaksakan otoritas, tetapi tentang memberikan dukungan emosional yang mereka butuhkan untuk bertumbuh menjadi individu yang utuh.
Dalam mencintai remaja, salah satu kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah mencoba memaksakan aturan tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk bertumbuh. Banyak orang tua berpandangan bahwa cinta berarti melindungi anak-anak mereka dari segala kesulitan, mengarahkan mereka pada pilihan yang dianggap paling aman, dan menuntut mereka mengikuti jalan yang sudah kita petakan. Namun, realitasnya, remaja justru lebih menghargai kebebasan yang penuh tanggung jawab daripada sekadar diberi nasihat yang tidak mereka pahami. Mereka ingin diberi ruang untuk membuat kesalahan, belajar dari kegagalan, dan mengembangkan identitas mereka sendiri.
Islam mengajarkan keseimbangan dalam pengasuhan. Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau selalu bersikap lembut kepada para pemuda, memberikan mereka ruang untuk bertumbuh dan belajar tanpa merasa tertekan oleh otoritas yang berlebihan.
Ketika Ali bin Abi Thalib masih muda dan diberi tanggung jawab besar, Rasulullah tidak pernah memaksakan kehendak, tetapi selalu membimbingnya dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Ini adalah contoh bahwa mencintai remaja berarti memberi mereka kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri, dengan tetap berada di sisi mereka sebagai pendukung dan penasehat.
Contoh praktis dalam pengasuhan bisa terlihat dalam hal pemberian kebebasan dengan batasan. Sebagai contoh, jika anak remaja ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan teman-teman di luar rumah, kita bisa membiarkan mereka pergi dengan syarat mereka memberi kabar secara berkala, memastikan tempat yang dituju aman, dan pulang tepat waktu. Kita bisa berkata, "Kamu boleh pergi, asalkan memberi kabar dan pulang maksimal jam 10 malam." Dengan cara ini, remaja merasa diberi kebebasan, tetapi dalam batasan yang aman. Ini membantu mereka belajar bertanggung jawab atas keputusan mereka tanpa merasa terkekang.
Penelitian dalam psikologi modern mendukung pentingnya pendekatan yang seimbang dalam pengasuhan remaja. Remaja yang mengalami keseimbangan otonomi dan dukungan orang tua cenderung menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi dan peningkatan kesehatan mental.
Penelitian menunjukkan bahwa penerimaan emosional dari orang tua mendorong kemandirian, memungkinkan remaja untuk membuat keputusan dengan percaya diri sambil tetap merasa didukung(Козырева & Pham, 2024). Mereka lebih mampu menghadapi tantangan hidup, dan tidak merasa perlu memberontak karena mereka merasa dipercaya dan dihargai sebagai individu yang mandiri.
Ketika remaja membuat kesalahan, respons orang tua juga memainkan peran penting dalam membentuk kepercayaan diri mereka. Misalnya, jika seorang anak remaja gagal dalam ujian penting, daripada mengkritik atau menyalahkan, orang tua bisa mengatakan, “ayah tahu ini mengecewakan, tapi ayah bangga kamu sudah berusaha. Mari kita lihat apa yang bisa diperbaiki ke depannya.”
Kalimat seperti ini memberikan dukungan tanpa menyudutkan, membantu anak memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan akhir dari segalanya.
Kebebasan yang diberikan kepada remaja bukan berarti tanpa batas. Sebagai orang tua dan pendidik, kita tetap harus menetapkan batasan yang jelas dan tegas, tetapi dengan pendekatan yang penuh kasih. Dalam ajaran Islam, orang tua diminta untuk tidak membiarkan anak-anak mereka tumbuh tanpa arah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka dalam kebaikan dan ketakwaan.
Misalnya, jika anak remaja ingin menggunakan media sosial, orang tua bisa memberikan kebebasan dengan batasan, seperti menetapkan waktu penggunaan dan memastikan bahwa mereka memahami etika dan keamanan dunia maya. daripada melarang, orang tua bisa berkata, “Kamu boleh main media sosial selama 2 jam sehari, tapi tolong ingat untuk tidak membagikan informasi pribadi dan selalu berhati-hati dengan orang yang kamu temui secara online.” Batasan konten ataupun pesan untuk memilih konten positif secara verbal perlu kita sampaikan ke anak. Itu adalah rambu rambu atau batasa yang kita buat.
Mencintai remaja juga berarti memberi mereka dukungan yang konsisten, terutama di masa-masa sulit. Ketika remaja menghadapi kegagalan, baik di sekolah, dalam hubungan pertemanan, atau dalam pencarian jati diri mereka, di sinilah cinta orang tua dan pendidik benar-benar diuji. Banyak dari kita yang secara tidak sadar menjadi lebih kritis bahakan sangat kritis saat anak-anak kita gagal, alih-alih mendukung mereka untuk bangkit.
Padahal, momen kegagalan itua adalah saat-saat di mana mereka paling membutuhkan kita. Seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, “Pendidikan terbaik adalah pendidikan yang mengajarkan anak untuk menghadapi kesulitan dengan keberanian dan kesabaran.” Di bahasan kemaren abak idel bukanlah anak yang sempurna dan tidak pernah salah, namun anak yang bisa belajar dari kesalahan.
Untuk mencintai remaja dengan benar, kita harus belajar menjadi sahabat bagi mereka. Sahabat yang mendengarkan, sahabat yang mendukung, dan sahabat yang selalu ada saat mereka jatuh. Mencintai mereka dengan cara ini akan menciptakan hubungan yang lebih dalam dan bermakna. Ketika remaja merasa dicintai dan didukung, mereka akan lebih mudah terbuka, lebih sedikit mengalami stres, dan lebih mampu membuat keputusan yang baik dalam hidup. Diartikel sebelumnya kami pernah tulisakan untuk sebagai orang tua tetap masih harus terus belajar, diantaranya belajar pengasuhan.
Closing, mencintai remaja di era modern ini bukanlah tentang mengontrol atau memaksakan kehendak. Ini adalah tentang memberi mereka ruang untuk bertumbuh, sambil tetap berada di sisi mereka sebagai pendukung yang penuh kasih.
Dengan pendekatan yang lembut dan bijaksana, kita dapat membantu mereka menemukan jati diri mereka, menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, dan menjadi individu yang berakhlak mulia. Inilah cara kita mencintai remaja dengan sepenuh hati, mengikuti jejak para Nabi dan teladan Islam yang mulia.
Allahu a`lam bishowwab. Besok bersambung insya Allah tema seberapa dalam cinta Ayah bunda kepada remaja.
Sobat sobat budiman, bila menemukan ketidaksesuaian pada tulisan ini mohon dikoreksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H