Sebagai orang tua, kita perlu menciptakan ruang bagi remaja untuk berbicara, untuk berbagi kecemasan dan kebahagiaan mereka. Dalam Islam, Rasulullah SAW mencontohkan sikap mendengarkan yang aktif, bahkan kepada anak-anak, dengan memberikan perhatian penuh dan tidak mengabaikan kebutuhan mereka untuk didengar.
Di sinilah tantangan kita sesungguhnya: bagaimana mencintai tanpa merasa harus selalu benar? Mencintai remaja bukan tentang memaksakan otoritas, tetapi tentang memberikan dukungan emosional yang mereka butuhkan untuk bertumbuh menjadi individu yang utuh.
Dalam mencintai remaja, salah satu kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah mencoba memaksakan aturan tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk bertumbuh. Banyak orang tua berpandangan bahwa cinta berarti melindungi anak-anak mereka dari segala kesulitan, mengarahkan mereka pada pilihan yang dianggap paling aman, dan menuntut mereka mengikuti jalan yang sudah kita petakan. Namun, realitasnya, remaja justru lebih menghargai kebebasan yang penuh tanggung jawab daripada sekadar diberi nasihat yang tidak mereka pahami. Mereka ingin diberi ruang untuk membuat kesalahan, belajar dari kegagalan, dan mengembangkan identitas mereka sendiri.
Islam mengajarkan keseimbangan dalam pengasuhan. Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau selalu bersikap lembut kepada para pemuda, memberikan mereka ruang untuk bertumbuh dan belajar tanpa merasa tertekan oleh otoritas yang berlebihan.
Ketika Ali bin Abi Thalib masih muda dan diberi tanggung jawab besar, Rasulullah tidak pernah memaksakan kehendak, tetapi selalu membimbingnya dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Ini adalah contoh bahwa mencintai remaja berarti memberi mereka kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri, dengan tetap berada di sisi mereka sebagai pendukung dan penasehat.
Contoh praktis dalam pengasuhan bisa terlihat dalam hal pemberian kebebasan dengan batasan. Sebagai contoh, jika anak remaja ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan teman-teman di luar rumah, kita bisa membiarkan mereka pergi dengan syarat mereka memberi kabar secara berkala, memastikan tempat yang dituju aman, dan pulang tepat waktu. Kita bisa berkata, "Kamu boleh pergi, asalkan memberi kabar dan pulang maksimal jam 10 malam." Dengan cara ini, remaja merasa diberi kebebasan, tetapi dalam batasan yang aman. Ini membantu mereka belajar bertanggung jawab atas keputusan mereka tanpa merasa terkekang.
Penelitian dalam psikologi modern mendukung pentingnya pendekatan yang seimbang dalam pengasuhan remaja. Remaja yang mengalami keseimbangan otonomi dan dukungan orang tua cenderung menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi dan peningkatan kesehatan mental.
Penelitian menunjukkan bahwa penerimaan emosional dari orang tua mendorong kemandirian, memungkinkan remaja untuk membuat keputusan dengan percaya diri sambil tetap merasa didukung(Козырева & Pham, 2024). Mereka lebih mampu menghadapi tantangan hidup, dan tidak merasa perlu memberontak karena mereka merasa dipercaya dan dihargai sebagai individu yang mandiri.
Ketika remaja membuat kesalahan, respons orang tua juga memainkan peran penting dalam membentuk kepercayaan diri mereka. Misalnya, jika seorang anak remaja gagal dalam ujian penting, daripada mengkritik atau menyalahkan, orang tua bisa mengatakan, “ayah tahu ini mengecewakan, tapi ayah bangga kamu sudah berusaha. Mari kita lihat apa yang bisa diperbaiki ke depannya.”
Kalimat seperti ini memberikan dukungan tanpa menyudutkan, membantu anak memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan akhir dari segalanya.
Kebebasan yang diberikan kepada remaja bukan berarti tanpa batas. Sebagai orang tua dan pendidik, kita tetap harus menetapkan batasan yang jelas dan tegas, tetapi dengan pendekatan yang penuh kasih. Dalam ajaran Islam, orang tua diminta untuk tidak membiarkan anak-anak mereka tumbuh tanpa arah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka dalam kebaikan dan ketakwaan.