Mohon tunggu...
Arif Prabowo
Arif Prabowo Mohon Tunggu... Administrasi - UIN KH Abdurrahman Wahid, Yayasan Al Ummah, PAUD IT/ TKIT/ SDIT Ulul Albab, SMP/SMA IT Assalaam Boardinng School

Menyukai pengelolaan Sumber Daya Manusia, Keluarga, Keayahan, masih belajar pendidikan yang bijak di era berlimpahnya informasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Cinta Anak Remaja, Jadilah Sabahat Meski Tak Dekat

27 Agustus 2024   10:25 Diperbarui: 27 Agustus 2024   13:37 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | SHUTTERSTOCK via Kompas.com

Bismillah,

Masa remaja adalah masa yang penuh dengan gejolak, baik dari segi emosi, fisik, maupun sosial. Remaja seringkali berada di persimpangan antara keinginan untuk merdeka dan kebutuhan akan bimbingan. 

Sebagai orang tua, ada kalanya kita merasa bahwa jarak antara kita dan anak semakin jauh, terutama ketika mereka mulai menutup diri dan lebih banyak menghabiskan waktu di dunia mereka sendiri. Namun, di sinilah letak pentingnya memahami bahwa meski tidak selalu berada di sisi mereka, kita masih bisa menjadi sahabat bagi mereka.

Ada sebuah kisah inspiratif kita para orangtua tentang seorang ayah yang merasa begitu jauh dari putrinya yang beranjak remaja. Sang ayah, yang bekerja di luar kota, hanya bisa pulang seminggu sekali. Sementara sang ibu pun sering disibukkan dengan urusan rumah tangga. Mereka khawatir, apakah jarak yang tercipta ini akan membuat putri mereka merasa kesepian dan tidak diperhatikan? 

Namun, mereka menemukan jalan keluar. Sang ayah mulai menulis surat-surat pendek yang ia kirimkan setiap hari. Surat-surat ini berisi pesan-pesan penuh kasih, pengingat akan nilai-nilai yang telah mereka tanamkan, dan juga sekadar cerita sehari-hari. 

Putrinya, meskipun awalnya cuek, perlahan mulai menunggu-nunggu surat dari ayahnya. Di sinilah keajaiban terjadi. Meski tidak selalu berada di dekat, sang ayah tetap hadir dalam kehidupan putrinya sebagai sahabat.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan emosional orang tua dalam kehidupan anak remaja memiliki dampak yang sangat signifikan. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa remaja yang merasa dicintai dan didukung oleh orang tua cenderung memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik dan lebih mampu menghadapi tekanan sosial. Mereka juga cenderung lebih terbuka dalam berkomunikasi dan lebih jarang terlibat dalam perilaku berisiko.

Namun, bagaimana kita bisa tetap menjadi sahabat bagi anak-anak kita ketika jarak fisik atau emosional mulai tercipta? Kuncinya adalah komunikasi

Komunikasi yang baik bukan hanya tentang seberapa sering kita berbicara dengan anak, tetapi juga tentang bagaimana kita mendengarkan mereka

Mendengarkan di sini bukan hanya mendengar kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi juga memahami perasaan yang ada di balik kata-kata tersebut. Remaja, pada dasarnya, membutuhkan seseorang yang mau mendengar tanpa menghakimi, yang bisa menjadi tempat mereka mencurahkan isi hati.

Dalam dunia yang semakin maju dengan teknologi, orang tua bisa memanfaatkan berbagai cara untuk tetap terhubung dengan anak-anak mereka. Mulai dari mengirim pesan singkat, video call, hingga sekadar meninggalkan catatan kecil di kamar mereka. 

Di sisi lain, penting juga bagi orang tua untuk tidak terlalu mengontrol atau mengawasi secara berlebihan. Anak remaja perlu ruang untuk tumbuh dan menemukan diri mereka sendiri. 

Sebuah studi dari American Psychological Association menunjukkan bahwa remaja yang merasa terlalu dikontrol oleh orang tua mereka cenderung mengalami stres yang lebih tinggi dan hubungan yang lebih buruk dengan orang tua mereka.

Menjadi sahabat bagi anak remaja tidak harus berarti kita selalu hadir secara fisik di sisi mereka. Melalui dukungan emosional, komunikasi yang baik, dan kepercayaan yang kita berikan, kita dapat tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka, meskipun terkadang ada jarak yang memisahkan. Cintai mereka dengan cara yang mereka butuhkan, bukan hanya dengan cara yang kita pikir terbaik.

Selanjutnya, mencintai anak remaja dan menjadi sahabat mereka juga berarti kita harus memahami tantangan yang mereka hadapi di era modern ini. Teknologi, dengan segala kemudahannya, seringkali menciptakan jurang pemisah yang tak terlihat antara orang tua dan anak. 

Banyak remaja yang lebih memilih mencari hiburan, teman, atau bahkan jawaban atas masalah mereka melalui layar gawai daripada berbicara dengan orang tua mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran: apakah orang tua masih bisa menjadi sahabat bagi anak mereka dalam dunia yang begitu cepat berubah?

Sebuah laporan dari Pew Research Center menyebutkan bahwa 95% remaja memiliki akses ke smartphone, dan sekitar 45% dari mereka mengatakan mereka "hampir selalu online". Ini menunjukkan betapa besar peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka. 

Dalam situasi seperti ini, penting bagi orang tua untuk tidak hanya mengenal teknologi yang digunakan anak-anak mereka tetapi juga memanfaatkannya untuk tetap terhubung. 

Mengirimkan pesan singkat yang penuh kasih atau bahkan sekadar emoji bisa menjadi cara sederhana namun efektif untuk menunjukkan bahwa kita peduli dan selalu ada untuk mereka.

Selain itu, kita perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang dunia digital. Ini bukan berarti kita harus menjadi ahli teknologi, tetapi setidaknya kita memahami bagaimana media sosial, game online, dan aplikasi lain mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak-anak kita. 

Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih mudah memasuki dunia mereka dan memahami bahasa serta kebutuhan mereka. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Pendidikan anak adalah hak mereka atas orang tua, yang harus dijalankan dengan hikmah dan kesabaran.” Dalam konteks modern, ini berarti kita harus bersabar dalam memahami dunia anak-anak kita yang mungkin sangat berbeda dari yang kita alami dulu.

Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kita berusaha mendekati anak-anak kita melalui teknologi, kita juga harus mengajarkan mereka tentang pentingnya kehidupan nyata di luar dunia digital. 

Kegiatan sederhana seperti makan malam bersama tanpa kehadiran gawai, atau mengajak mereka beraktivitas di luar rumah, bisa menjadi cara untuk memperkuat ikatan keluarga. 

Studi dari Stanford University menemukan bahwa keluarga yang secara rutin meluangkan waktu untuk berkegiatan bersama, tanpa gangguan teknologi, memiliki hubungan yang lebih kuat dan lebih harmonis.

Tidak ada resep pasti untuk menjadi sahabat bagi anak remaja, karena setiap anak memiliki keunikan dan cara mereka sendiri dalam mengekspresikan diri. Namun, yang terpenting adalah niat tulus kita untuk selalu hadir, meski tidak selalu berada di samping mereka. Cintai mereka dengan cara yang mereka pahami—dengan sabar, dengan mendengarkan, dan dengan memberi mereka ruang untuk tumbuh.

Sebagai orang tua, kita tidak boleh takut dengan perubahan zaman. Justru, kita harus beradaptasi dan belajar bersama anak-anak kita. Ingatlah bahwa menjadi sahabat bagi anak remaja bukan berarti menghilangkan batasan, tetapi lebih kepada menjadi figur yang mereka percaya dan hormati. Dengan kasih sayang yang tulus dan komunikasi yang baik, kita bisa menjadi tempat mereka kembali, di tengah dunia yang begitu cepat berubah.

Allahu a`lam bishowwab.
Bersambung Insya Allah.

Sobat-sobat pendidik yang budiman, bila mendapatkan hal yang tidak pas pada artikel ini mohon berkenan di perbaiki. terimakasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun