Cicak menjadi saksi, malam ini benar-benar sepi. Tidur mereka seperti orang mati. Bergeraknya hanya sesekali, ada yang menggaruk wajah, telinga, siku, dan kaki. Nyamuk sedang beraksi, padahal pertanda waktunya tiba.
Jangankan jenderal, kopral pun jika tidur mereka sama. Jangankan orang kaya, orang miskin pun tak jauh berbeda. Tidur adalah asli perwujudan manusia.
Satu jam berlalu, dua jam membisu, tiga jam, empat jam, dan pagi datang lewat jendela, hangar menerobos kulit mereka. Komandan terbangun. Kaget!
"Mengapa tak ada yang membangunkan saya!" teriaknya.
Seperti mendapat perintah komandan, semua yang hadir serempak bangun dan langsung siaga. Benar-benar seperti orang gila. Ada yang kancing bajunya terlepas, ada yang kancing celana, termasuk resletingnya. Bagaimana kontrol normal berjalan, saat tidur adalah sebagian dari kematian.
Sejak zaman purba, hingga zaman paling modern. Tidurnya penghuni malam tak pernah melakukan pemutakhiran. Yang ngorok ya ngorok saja. Yang mengigau ya mengigau saja. Iler ada di mana-mana, kadang seluas lapangan sepak bola. Berbentuk pulau-pulau di dunia.
Salah satu tradisi lama adalah waktunya tidur kita. Bagaimana membongkar tradisi ini? Siapa bisa? Jika belum sanggup mengubah tidur purba menjadi tidur zaman yang katanya sekarang. Maka tak usah ngimpi ingin mengubah zaman.
Apalagi memakai istilah konspirasi segala, membuat malu para tetangga, pada anak isteri juga.
Mutakhirkan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan kelakuan sepertinya layak dipertimbangkan. Inilah konspirasi di bilik sunyi. Dengan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H