Kubu-kubu Saling Menderu
Gerbang-gerbang pertahanan, berlapis baja, kunci sengaja dibuang hingga tak bisa terbuka
Ia bukan orang Rimba, suku Kubu dari Sumatera, Anak Dalam tersisih dalam keterasinganya, kuat menjaga budiluhur tetuanya
Jika hanya pagar kayu berlapis tanah, serangan datang hanya sekali hantam, porakporanda tak bersisa
Saat angin ribut hengkang dari pendengaran, targanti mesin-mesin olahan. Cerobong asap tinggi selalu mengepul tak mengenal hari. Di tempat inilah deru dimulai.
Menyebar berarak, rapi persis barisan tujuhbelasan. Membawa bendera, menyerahkan pada kepala negara. Kita semua hidmat hadir di seluruh penjuru nusantara
Kalau gelombang besar akan pecah setelah menghantam karang, tidak halnya dengan kubu yang alang kepalang. Sebentar lengah, gerbang berserta penghuninya pindah haluan.
Kita yang punya telinga mendengar deru desingnya. Kita yang punya mata menyaksikan geliat penabuh suara.
Kubu bukan lagi benteng pertahanan, melainkan jadi senjata untuk menyerang. Minimal atas mana, untuk sebuah dukungan.
Kini mulai tak mengenal pagi, tak lelah ketika senja.
Dalam legenda, suku Anak Dalam meninggalkan anggota keluarganya yang sekarat pindah ke belantara lainnya. Dengan anjing yang diikat, jika selamat kekang anjing akan dilepaskan. Anjing tau akan mencari kemana, memberitahu kerabat dan keluarga. Saat itu tangis dan wajah duka menyilumi mereka.
Dalam primitifnya budaya, masih ada rasa tersisa.
Hingga kubu yang saling menderu lupa di mana kaki ini terinjaknya, di mana udara ini dihirupnya. Kita tidak sedang berebut tanah, kita tidak sedang perang menyingkirkan saingan, hanya untuk segar mengambil pernapasan. Entah apa yang kubu pikirkan?
Tb, 17 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H