Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ia yang Pertama Kali Memasuki Belantara

10 Maret 2021   22:44 Diperbarui: 10 Maret 2021   22:48 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akurat.co | Yonif 713 Jelajahi Belantara Papua Demi Pastikan Keamanan Rakyat ...

Ia yang Pertama Kali Memasuki Belantara

Pertama kali memasuki belantara, ia begitu bersemangat. Langkahnya lebih cepat dari yang biasa. Tujuannya satu, segera tiba.

Keringat mengucur tak dihiraukan, kaki pegal dilupakan. Sambil berguman takjub, alangkahnya indah hutan. Hawanya segar, rimbunnya menyejukkan.

Jalan setapak dilalui, ia lebih suka mendahuli. Seolah tahu segala yang akan terjadi. Berbekal teori ia biasa pelajari.

Pejalan, gelar untuk orang yang keluar masuk hutan. Ia selalu penuh kekhawatiran. Binarang liar siap menghadang, kadang tanpa disadari mencelakakan.

Pohon bisa saja tumbang sewaktu-waktu. Ular bersembunyi di balik semak sudah aman dengan sepatu bot panjang. Bagaimana ular yang menggantung di ranting dan dahan? Waspada selalu prioritas utama.

Pejalan setiap langkah memberi aba-aba. Memberi peringatan kewaspadaan. Jangan sampai lupa keamanan dan keselamatan.

Ia yang pertama kali masuk hutan. Merasa lebih waspada. Merasa mengrerti kondisi sekelilingnya. Padahal yang ada di kepalanya hanyalah rekayasa. Mimpi di kala tertidur setengah jaga.

Apa yang terjadi, begitu berpapasan dengan kaki seribu.

"Oh kaki seribu itu mainanku sejak kecil," katanya.  "Sungguh tai berbahaya. Gampang mengusirnya. Ambil bilah. ia akan melingkar, siap dipegang dan dilempar."

Begitukah?

Dan benar! Kaki seribu datang di antara dua kakinya. Saat jongkok, begitu dekat dengan bokong dan kemaluannya. Bergerak-gerak mendekat. Ia berteriak, bulu kuduknya beranjak.

Mau pipis, mau berak!

Bagaimana bisa? Katanya sudah terbiasa, tapi ini benar-benar gila.

Kaki seribunya sebesar jempol orang dewasa. Bagaimana coba?
Pejalan tau, kaki seribu yang ini akan menyakiti. Pipisnya membuat nyeri berhari-hari. Bengkaknya bertahan lama. Meriang! Tentu saja.

Tak cukup sampai di situ. Waktu sedang melakukan pembuktian. Hutan masih penasaran. Pejalan mula bimbang, kembali atau diteruskan.

Ia orang yang pertama kali masuk hutan. Sudah mula ketakutan. Kini berjalan di tengah-tengah. Di antara pejalan lainnya. Sebentar menoleh ke belakang, sebentar menoleh ke depan.

Saat istirahat, pejalan mengambil botol air mineral. Ia mengambil parang, menebas akar berjuntai untuk dijadikan minuman. Pengamatan dari tontonan.

Sudah diperingatkan, ia tidak pedulikan. Hutan marah lewat akar dengaj air berlimpah. Seteguk, dua teguk, segar!

Dan kepala mulai pusing, keracunan. Muntah-muntah! Tak membuatnya menyerah. Setelah diberi penawar, sehat kembali. Kejadian ini tidak dipelajari.

Pejalan meminta perhatian. Tetap tidak dihiraukan. Dasar kemalan teori ya begini, gerutu pejalan.

Kali ini benar-benar dibiarkan!

Semakin lama ia sekain lelah, tenaga terkuras. Hutan masih jauh dari tujuan. Pejalan sudah jadi kebiasaan. Berkeringat pun bukan karena kelelahan.

Satu langkah, dua langkah, akhirnya seratus langkah. Ia tertinggal. Jauh di belakang. Kebingungan! Ingin melanjutkan tenaga tinggal denyutan. Ingin bertahan kalau-kalau ada ular menghadang.

Apa yang harus ia lalukan? Penyesalan telah menganggap tahu hutan. Ia belum pernah memasukinya, apalagi belantara. Hanya berbekal gawai, sudah berani memberi aba-aba. Berlagak bisa. Seolah palinh tau segala. Dan akibatnya?

Hutan sedang marah kepadanya....

Kau dan aku. Kita sedang berada di dalam belantara. Kadang lebatnya hutan hanya indah dari kejauhan. Tak sadar sekian banyak binatang buasa siap menerkam. Memberikan ketakutan. Siap menyesatkan. Dengan segala penderitaan.

Ia yang pertama kali masuk hutan. Kita yang pertama kali merasa memiliki pengetahuan. Seolah semua ada di dalam kepala. Seolah semua terbukti manjur mengobati. Rempah-rempah dibelangah. Disuguhkan seperti kopi. Dengan embel-embel ini maha teruji!

Benarkah?

Bukankah dari balik mata kepercayaan, ternyata lebih sebar kekhawatiran?
Jika terjadi pada diri sendiri
Jika masalah itu menimpa diri

Sanggupkah kita menasihati,
Untuk diri sendiri?

Jika belum, maka pikirkan lagi sebelum berkata, "Ini terbukti!"

Tb, 10 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun