Pengalaman paling berkesan adalah ketika malam hari berjalan menyusuri sungai di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin. Betapa tidak, orang mungkin hanya sebagian saja yang percaya kalau sepuluh tahun merupakan waktu yang sangat singkat terjadinya perubahan dalam pembangunan.
Kala itu, di depan masjid Raya Sabilal Muhtadin yang mengalir sungai Martapura masih berbentuk taman tanpa pagar pengaman. Hanya ada rumput dan bunga-bunga tak terawat di kotak-kotak seumuran satu kali esatu meter.
Malam sabtu dan malam minggu di mana pun tempatnya pasti akan sangat ramai muda mudi keluar rumah untuk jalan-jalan.
Apalagi di depan Masjid Sabilal Muhtadin tepatnya di seberang sungai ini akan menjadi cikal bakal dibangunnya Menara Pandang merupakan objek wisata terbaru di Banjarmasin,
Wali Kota Banjarmasin meresmikan pada tahun 2014 silam. Destinasi wisata yang terletak di pinggir Sungai Martapura ini, menyuguhkan pemandangan lanskap ibukota Kalimantan Selatan dan sekitarnya yang luar biasa serta jarang ditemukan di tempat lainnya.
Saat itu masih terdiri dari perumahan di tepian sungai. Kapal-kapal kecil Wbanyak sandar untuk bongkar muat barang. Tempat mereka beberapa hari menanti hingga muatan penuh kembali.
Terang saja, lampu kapal menjadi semakin indah terlihat dari seberang.
Beberapa ratus meter di sebelah kanan terdapat jembatan Pasar lama, kala itu masih dianggap menjadi tempat berteduhnya tunawisma. Identik jika malam hari menjadi tempat transaksi esek-esk kelas bawah. Dari sinilah cerita saya mulai.
Maklumlah, namanya anak kuliahan yang hidup lekat dengan kemiskinan wajar jika waktu dan jarak begitu sangat berharga.
Setelah pulang kuliah sore, rasanya sayang jika langsung pulang ke rumah. Untuk sampai di rumah diperlukan waktu satu jam jalan kaki. Jadi mending dari pada pulang mampir saja di perpustakaan.
Nah letak perpustakaan kala itu ada di seberang Masjid Sabilal Muhtadin. Jika ditempuh dengan jalan kaki lumayan jauh. Paling tidak butuh 30 menit.
Setelah penat belajar macam-macam di perpustakaan--terutama menyelesaikan tugas kuliah--sekedar represhing menyeberang lewat Jembatan Pasar Lama sambil menuju pulang maksudnya.
Saya termasuk penggila mancing sejak dahulu, jadi jika bertemu sungai hayalan tentang betapa dahsyatnya mancing pasti terbayang. Jadi menyusuri sungai menjadi hiburan andalan. Apalagi malam hari dengan cahaya lampu kecilangan dari seberang sungai. Sungguh sangat indah.
Pas kebetulan sekali di tepi sungai berpapasan dengan seorang teman. Ia sedang mancing bersama isterinya. Maka kami berbincang-bincang dan meminta saya menemaninya mancing. Saya pun setuju. Berbekal alat pancing dan perlengkapan darinya saya pun mancing.
Waktu kemudian berjalan, tak terasa tengah malam telah tiba. Gerimis mengundang memang. Merasa tidak enak mengganggu mereka, saya pun memisahkan diri menjauh.
Tepat di depan Masjid Sabilal Muhtadin itulah saya mulai melempar umpan. Sambil menanti umpan disambar ikan mata saya celingukan ke sana kemari.
Di tempat itu rupanya ada yang pacaran, beberapa pasang remaja. Heran saja, sudah tengah malam begini, memangnya orangtua mereka tidak ada yang mencari atau khawatir pada anak gadisnya.
Sekarang, bila kita bertandang di malam hari, penampakan kerlap kerlip lampu yang membentang luas di Kota Banjarmasin akan menjadi pemandangan yang sungguh memanjakan mata.
Bahkan semilir angin yang begitu sejuk, membuat pengunjung tak ingin sebentar menikmatinya. Jadi tak heran jika malam hari banyak sekali wisatawan terutama kaum muda menghabiskan waktunya disini.
Saat itu memang masih remang-remang. Hanya lampu jalan yang menerangi.
Merasa tak ada ikan yang menyabar umpan, maka saya pun berniat pulang. Namanya mau pulang pastilah langkah saya sedikit laju.
Namun tiba-tiba saya sangat terkejut dan langsung berteriak. Kali ini bukan karena ular atau hantu. Dari balik tanaman di kotak persegi satu kali satu meter itu ada tangan yang langsung mengarah ke "anu" saya. Berniat memegang, karena saya kaget, langsung meloncat dan berteriak.
Saya lari tunggang langgang menuju tempat teman saya tadi. Langsung sambil ngos-ngosan saya cerita. Mereka berdua tertawa. Asli ngakak.
"Untung kamu tidak diperkosanya!" Kata mereka berdua serempak.
"Memangnya dia siapa?" tanya saya.
Orang itu adalah salah satu pelacur tua yang sudah tidak laku lagi. Jadi kerjanya melayani siapa saja yang mau. Dengan bayaran berapa saja.
Gila! Teriak saya. Maka saya pun pamit pulang lebih awal dari mereka. Padahal sudah tengah malam.
Di sepanjang jalan saya berpikir, beginikah akhir nasib pelacur jika sudah tua. Alangkah malang nasibnya. Anak tidak ada, suami tidak ada. Tuna wisma pula. Aduhai!
Demi sesuap nasi akhirnya menyerahkan diri pada siapa saja yang mau membayar mereka. Kalau tak dapat pelanggang, ya tragis seperti yang saya alami. Dipegang itu, tanpa ba bi bu. Siapa juga akan takut jika modelnya kaya hanyu, ha ha ha....
Kalau dahu saja sudah seperti itu kondisinya, padahal taman indahnya belum tertata, ada saja yang memanfaatkan kesempatan untuk sekadar mencari penghasilan. Apalagi sekarang, saat taman sudah tertata baik, pengunjung kian hari kian banyak, pasti efek negatifnya juga akan meningkat.
Dan menurut cerita seorang teman, di tempat-tempat seperti inilah tempat paling rawan. Transaksi narkoba berkeliaran. Tak sedikit yang kemudian tertangkap tangan.
Padahal lokasinya berada di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Masjid kembanggaan orang Banjar. Harusnya perilaku yang merusak keindahan masjid tetap terawasi, terutama oleh masyarakat sekitar.
Tentu saja kita tidak bisa semua berharap.pada pejabat yang berwenang. Mereka punya keterbatasan. Jadi alangkah bagusnya jika bersama-sama tetap menjadikan tempat itu sebagai destinasi wisata, namun masih mengedepankan adat istiadat dan budaya Banjar yang agamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H