Di kantor mana saja kelakuan staf (bawahan) pasti tak jauh beda. Instansi pemerintah apa lagi, jika perusahaan swasta mungkin sedikit agak beda, karena teguran keras bisa berbuntut malapetaka. Surat peringatan satu, dua, hingga pemecatan. Jadi staf rada gimana gitu.
Bang, Bos sudah datang belum? Yang bertanya begini kira-kira datang lebih awal apandatang terlambat?
Kira-kira lucu tidak? Sudah datang terlambat malah bosnya yang diabsen. Kalau bos yang tanya wajar, siapa tau ada perintah untuk dikerjakan.
Stafnya mungkin takut ketahuan bos karena datang terlambat. Jadi jika bos belum datang berarti keterlambatannya ia anggap selamat. Bos tidak akan tahu.
Baca Juga: Maaf, Pak! Saya Mau Kritik
Ngimpi kayaknya bawahan (staf) yang begini. Lupa disetiap tikungan dan ruang dipasang cctv, layar monitornya di ruang bos. Pembawaan jaman bahula masih melekat erat tentu saja.
Mas, kalau saya pulang duluan bos marah tidak ya? Kok nanyanya ke sesama staf sih? Kawan di sebelah pasti akan mengizinkan ke luar kantor atau pulang. Wong, disadari atau tidak saling jegal, saling menggunting dalam lipatan, saling sikut sering terjadi di kantor.
Apalagi alasannya kalau bukan promosi jabatan. Dan ujung-ujungnya perhatian dan tambahan penghasilan.
Perilaki staf yang begini pasti ada sebabnya. Tidak mungkin suatu sikap muncul ke permukaan tanpa sebab. Tidak ada asap jika tidak ada api.
Pertama, pimpinan terlalu mengawasi bawahan hingga sedetail-detailnya. mengawasi karyawannya agar berbuat sesuatu, bahkan dari hal yang paling kecil sekalipun.
Perilaku pimpinan yang seperti ini dianggap dapat meningkatkan produktifitas, padahal nyatanya dapat membuat semangat kerja dan produktivitas bawahannya menurun terhadap lingkungan kerja,
Jika pimpinan memberikan instruksi secara detail kemudian memberi peluang inovasi pada bawahan maka  bawahandapat menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya dengan cara tersendiri.
Seorang pimpinan seharusnya bersikap santai dan membuat bawahannya merasa nyaman dengan tidak melakukan intimidasi terhadap bawahannya.
Ke dua, kritik tidak sesuai tempat. Seharusnya semakin tinggi jabatan berbanding lurus dengan etika. Jadi semakin tinggi jabatan semakin bijak dalam bersikap.
Banyak orang yang tidak suka jika dikritik di depan umum. Â Akan lebih baik jika dibuat perbincangan pribadi ataupun sebuah diskusi dengan bawahan mengenai hal-hal apa saja yang harus diperbaiki oleh bawahan.
Dengan diskusi santai diharapkan kemudian hari dapat ditingkatkan dan dampak apa yang ditimbulkan jika bawahan tidak merubah perilakunya. Setelah berdiskusi masing-masing dari pimpinan dan bawahan akan mengembangkan rencana perbaikan bersama.
Ke tiga, tidak apresiatif. Setelah bawahan melakukan sebuah keberhasilan atas kerja keras dan kontribusi pastinya membutuhkan apresiasi atas apa yang telah dilakukan.
Alangkah baiknya jika seorang pimpinan memberikan pujian kepada bawahannya karena telah berkontribusi berarti. Komunikasi kepada bawahan untuk mencari tahu hal apa yang dapat membuat bawahan merasa lebih baik sangat penting.
Sebagian bawahan atau staf menginginkan kenaikan gaji ataupun pengakuan di depan publik. Jika pimpinan tidak menghargai apa yang dilakukan oleh bawahan, jadinya ya seperti percakapan di awal artikel ini. Yang ditanyakan hanyalah bos ada tidak. Boleh pulang duluan tidak.
Jika sudah begitu selamatlah, kerja asal hadir, asal jadi, asal setor muka menjadi budaya. Dan yang paling mengerikan adalah akan lahir para penjilat di tempat kerja tersebut. ABS, asal bapak senang. Sungguh berbahaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H