Pemimpin yang jujur menjanjikan keterbukaan dan keluwesan dalam memberikan segala informasi yang mencakup kepentingan organisasi, tidak ada tang namanya mengguntinf dalam lipatan. Bawahan pun akan takut untuk tidak jujut.
Pemimpin ideal dengan tingkat kejujuran tinggi akan mendapatkan kepercayaan yang luas dari anggota organisasinya.
Ke lima, rela berkorban. Rela berkorban berarti rela menerjunkan diri (menahan ambisi pribadi) dalam kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
Dengan semangat rela berkorban akan mampu memfokuskan diri untuk mencapai semua kebutuhan organisasi secara detail. Sifat rela berkorban ini pun tentunya harus didasari dengan kecerdasan dan kebijakan dari seorang pemimpin. Implikasinya dia akan mengambil keputusan secara tepat tanpa merugikan banyak pihak.
Nah, kalau yang lima ini hilang dan tidak ada pada diri pemimpin atau atasan kita terus apa yang dilakukan? Tentu saja mengkritisinya.
Jika atasan atau pemimpin alergi terhadap kritik, bagaimana akan tumbuh setidaknya lima ketentuan di atas?
Pengalaman saya sih, saat menjadi atasan ketika cara menyampaikan kritiknya tidak tembak langsung pasti tidak menyakitkan hati.
Kadang seorang teman lewat cerita orang lain, tentang bagaimana kegagalan dan keberhasilannya dalam memimpin. Nah, pada saat itulah uraian-uraian tentang keharusan yang dimiliki pemimpin diceritakan.
Walau tidak sekonyong-konyong berubah. Nanti saat menjelang tidur, apa yang telah diceritakan akan terpikirkan. Saat itulah kesadaran tentang kesalahan timbul. Beberapa saat kemudian muncullah niat untuk berubah lebih baik lagi.
Karena dahulu pernah dibegitukan sama bawahan dan efeknya dahsyat banget. Maka ketika saya jadi bawahan pun ikut-ikut mempraktekkan itu. Hasilnya lumayan bagus. Walau tidak terlihat mencolok, namun perubahan sedikit demi sedikit terjadi.
Jadi kalau saya, atau anda datang pada atasan atau pimpinan kemudian berkata, "Maaf, Pak! Saya mau mengkritik..." Siap-siap saja gajimu dipotong, atau segera dimutasi. Ha ha ha....