Aku terbahak-bahak. Tak ada potongan bos, jahitannya apalagi.
"Minta duitnya 100 aja!" katanya sambil menepuk bokongku.
Aku terdiam. Heran saja! Alangkah naifnya temanku ini. Tak ada basa basi sama sekali. Baru juga ketemu sudaj main todong saja. Kaya pembajak jalanan persis tingkahnya.
Untuk mengalihkan pembicaraan, aku sodorkan bungkus rokok. Kami pun menyulut bersama.
"Iya, iya. Gampang itu. Tapi untuk apa?" tanyaku.
"Aku sudah kalah 600 hari ini. Dua ratus upah ngangkut keranjang pengantin ludes (dua ratus ribu maksudnya). Sekarang sudah ngutang 400, makanya minta 100 buat modal nebus kekalahan tadi." lanjutnya.
Oh, rupa-rupanya di tempat itu sedang terjadi tahuran dengan main catur. Temanku tak tahu kalau aku pandai main catur. Kalau cuma main-main di tempat-tempat begituan tak perlu mikir lama. Gampang mengalahkan mereka.
"Berapa biasa taruhannya?"
"Terserah kita. Ayo lah mana duitnya tadi. Biar aku membalas kekalahanku."
"Gini aja, bilang ke mereka aku yang main. Tentukan taruhannya. Asal di atas utangmu. Ditambah upah angkut keranjang tadi."