Wajah buruk cermin dibelah
Berapa kali dirimu bercermin dalam sehari? Mengapa kamu bercermin? Manfaatnya apa?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya layak dijawab oleh mereka yang memang sering bercermin. Bagi yang jarang atau bahkan tidak bercermin mungkin saja tak punya jawaban pasti.
Pertanyaan lain, bagaimana rasanya ketika seseorang yang sedang berbicara dengan kita, sambil berbicara ia menunduk menikmati layar gawainya? Atau ketika kamu berbicara dengan orang lawan bicaramu, apa yang kau tatap?
Baiklah, kita mulai dengan kata "melihat". Melihat adalah kata kerja transitif, butuh suatu hal lain untuk dilihat serta piranti untuk melihat. Saya hanya membayangkan bagaimana orang yang (maaf) buta berkomunikasi.
Dalam bahasa yang lain, hal yang dilihat adalah hal yang dicari, dan piranti untuk melihat di sini adalah pencari atau jalan lain yang berada di sekitarnya.
Bagaimana tak sedikit orang kemudian menutup wajahnya dengan bedak tebal. Menyisir rambut berkali-kali di depan cermin. Anda tahu setelahnya? Rambut yang begitu rapi ditutup kerudung atau jilbab. Demikian juga  wajah penuh lipstik yang terkunci dibalik cadar atau masker.
Lantas buat apa kita bercermin? Kaum adam dengan enteng akan mengatakan, "Saya bercermin adalah agar pantas dan enak dilihat." Memangnya siapa yang akan melihat? Kalau ternyata mereka sudah melihat, apa yang ingin kau harapkan? Pujian mungkin?
Kenikmatan lelaki yang memeluk patung batu dalam kegelapan, seraya berpikir bahwa yang dipeluk itu adalah kekasihnya sambil menangis dan meratap karena kerinduannya. Tentu saja kenikmatannya akan berbeda ketika lelaki tersebut memeluk kekasihnya yang sedang hidup.
Bukankah cermin hanya memantulkan apa yang ada di depannya? Cermin tak memberi penilaian atas objek yang berkaca. Orang yang berdiri di depan cermin itulah yang subyektif menilai.