Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Akhir Tahun: Semata Wayang yang Malang

31 Desember 2020   22:54 Diperbarui: 31 Desember 2020   23:00 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepengetahuannya mungkin jika sakit barulah dibawa ke puskesmas atau dokter. Itu saja. Sementara kondisi anak yang mengalami keterbelakangan dianggap tidak dapat ditangani secara medis.

Kondisi ini diperparah bahwa keterbelakangan mental malah dianggap sebagai adanya jin yang bersarang di tubuh anak. Maka pengobatan yang mereka lakukan adalah dengan membawanya ke orang pintar.

Berusaha untuk menyembuhka memang tak ada salahnya. Yang belum tepat adalah menyerahkan penanganan penyakit kepada yang bukan ahlinya.

Pemahaman awam tentang dunia metafisika memang kerap menjadikan orang-orang yang terbelit dengan masalah kesehatan. Terutama kesehatan mental mengambil jalan pintas.

Kembali ke anak tadi. Dia adalah anak satu-satunya dari keluarga muda yang miskin. Pendidikan ayah ibu anak itu hanya tamat SMP. Jadi ya begitulah. Bisa dimaklumi ketika pemahaman terhadap kondisi keterbelakangan mental yang dihadapi anak dianggap sebuah kutukan.

Samar-samar dalam obrolan dengan ibunya ketika di motor tadi aku menarik pemahaman bahwa kelahiran anak itu karena ingin dikawinkan dengan orang halus (sebangsa jin, lelembut -bhs jawa).

Terpelas dari semua peristiwa itu. Yang hingga kini masih melekat erat dalam ingatanku adalah bagaana kesabaran ibu dari anak itu.

Dahulu sejak dalam gendongan, setiap kali makan. Setiap kali itu ibunya harus mengajaknya jalan-jalan. Kadang depan sekolah, di gardu, di lapangan sekolah. Di mana saja. Tempat-tempatnya berpindah-pindah.

Begitu juga ketika sudah mampu berjalan. Kadang sejak pagi hingga menjelang tengah hari. Sang ibu menemani anak itu bermain di bawah pohon. Main-mainan sesuatu, kadang akar-akar pohon. Ranting-ranting pohon. Daun-daun yang disusun-susun. Dan macam-macam mainan lainnya.

Bahkan hingga kini, sekitar 14 usianya. Apa pun yang ingin anak itu lakukan. Ibunya selalu mengikuti dan tak pernah melarangnya. Seperti kejadian tadi. Berjalan kaki hingga hampir sepuluh kilometer tetap dilakukan demi anaknya.

"Memangnya kalau dilarang gimana?" tanyaku pada suatu ketika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun