"Ayo sini naik." Sorot mataku ke arah anak itu.
Usianya sekitar 14 tahun. Jika sekolah mungkin sudah kelas 2 SMP. Sayangnya ia tidak disekolahkan orangtuanya.
Lebar senyum anak itu ke arahku. Setengah takut. Â Mungkin dikira akan berbuat jahat. Sebentar kemudian ia sudah ada di belakang sambil memegang pundak ibunya.
"Bapak duluan aja. Biar kami jalan. Dia gak pernah mau naik kendaraan."
"Tadi aku ketemu bapaknya di pemancingan."
"Iya, tadi berangkat menyusul bapaknya pun jalan kaki."
"Masya Allah, sampai segitunya," ucapku dalam hati. "Kok ada orang yang seperti ini." Tujuh kilometer jalan kaki hanya untuk menyusul bapaknya.
Maka aku pun turun dari motor. Perlahan-lahan aku mendekat sambil membujuk anak itu.
"Kita naik yuk. Duduknya di depan. Nanti ada lampunya. Ada suaranya. Kalau ada yang lewat kita bunyikan."
Erat pegangan pada pundak ibunya dilepaskan. Sedikit gamang. Tapi aku tak henti-hentinya meyakinkan agar mereka ikut membonceng denganku pulang. Minimal sampai depan gang. Karena maghrib juga kian dekat.
Akhirnya setelah keraguannya dapat aku tepis dengan menawarkan agar dia yang menjadi sopirnya. Duduk di depan motor barulah anak itu mau melangkah mendekati motorku.