Setelah siap-siap kami pun berjalan. Dan begitu motor mulai melaju dalam kondisi oleng. Maka jalan motor aku perlambat. Bayangkan anak seusia SMP tubuhnya sudah hampir sama dengan tubuhku. Duduk di depanku, semenrara aku yang mengendari. Kadang kepalanya menutup pandangan.
Di sepanjang perjalan, anak tersebut ngoceh. Entah apa yang diocehkannya. Sambil membalikkan badannya. Sepertinya ngobrol dengan ibunya.
Pada saat ada yang melintas mendahuli kami. klasson pun ia tekan. Sambil tertawa terbahak dan bersuara. Aku benar tak mengerti arti bahasanya.
"Inilah bentuk rejeki yang Allah berikan. Tinggal dijalani dan bersabar," kataku pada ibunya.
"Inggih, Pak."
"Nanti saatnya akan berakhir. Dan dialah penyelamat kita."
"Kami sudah pernah ajak dia berobat. Sebenarnya orangnya pendiam. Yang sedang ngajak ngobrol itu bukan dia. Tapi orang lain."
Obrolan terakhir ini aku sangat ingat. Begitu sampai di depan persimpangan jalan mendekati rumah, mereka minta diturunkan.
Yang ngajak ngobrol tadi bukan dia? Mungkinkah dia kerasukan jin? Sedemikian lamanya?
Pertanyaan demi pertanyaan satu persatu datang bertami di kepalaku.
Sepengetahuanku, anak itu lahir dengan cacat bawaan -- kelahiran dengan keterbelakangan mental -- namun karena orangtuanya tidak termasuk dalam keluarga mampu dan berpendidikan tinggi sehingga tidak gejalanya serta penangannya.