Sambel Plelek, Cintaku Tak Pernah Padam
Pembaca mungkin sudah sering mendengar istilah sambel plelek. Dan banyak yang sudah bisa membuatnya sendiri. Rasanya yang begitu nikmat, apalagi bagi penggemar citarasa pedas. Sambel plelek jadi pelengkap sajian nomor wahid.
Bukan sambel pleleknya yang menjadi inti dari sajian. Tapi teman-temannya itu yang lebih menggiurkan.
Sambel pleleknya sungguh sangat sederhana memang. Hanya tebuat dari cabe, bawang merah, bawang putih, garam, penyedap rasa, tak lupa sedikit minyak goreng. Semua bahan diuleg dan jadilah sambel plelek.
Aku jadi teringat sekian puluh tahun yang lalu. Ketika itu ibuku masih ada. Hidup yang begitu sederhana telah mengajarkan arti sebuah kenikmatan. Semua anaknya  baik laki-laki dan perempuan, yang paling pertama kali diajarkan adalah bagaimana membuat sambel plelek.
Katanya, "Jika tidak ada apa pun. Maka cukup dengan sambel plelek perut akan kenyang."
Nasihat sederhana tapi cukup mengena. Ibu tau, kehidupan masa akan datang bagi anak-anaknya tak selalu berjalan mulus. Kadang ada masanya ketika mencukupi penghidupan begitu sulit.
Maka anaknya dibekali menerima apa adanya lalu mensyukurinya. Tentu saja tetap diwajibkan dengan berusaha.
Mulanya aku berpikir, masak dengan sambel plelek bisa kenyang? Hidup di desa memang berbeda banget dengan hidup di kota. Selembar daun pisang saja harus dibeli dengan uang. Jika di desa, tinggal ambil dan petik.
Demikian juga banyak jenis sayuran gang bisa diambil dari belukar tanpa perlu izin pemiliknya. Beberapa sayuran yang tumbuh secara bebas di pematang sawah, di pinggir jalan, bisa dijadikan lalapan untuk melengkapi sajian.
Yang penting bisa kenyang. Dan halal. Misalnya kangkung, genjer, krokot, batang tanding, beluntas, serta pucuk-pucuk tumbuhan yang masih muda. Tinggal rebus maka jadilah lalapan menemani menghabiskan sepiring nasi. Dan tentu saja ternyata sambel pleleklah kuncinya.
Tinggal di desa juga begitu banyak memberikan keuntungan. Yang penting mau berusaha, sedikit memeras keringat berjalan ke empang, telaga, dan sejenisnya. Tinggal mengerahkan keterampilan.
Mancing, masang wuwu. jaring, dan lain-lain. Ikan pun di dapatkan. Tinggal dibakar atau digoreng. Kemudian dicocol ke sambel plelek, kalau hanya sepiring nasi pastilah segera ludes.
Aku termasuk orang yang paling menyukai masakan ibu. Masakan ibu adalah segalanya. Apapun dimasak selali terasan nikmat. Kata istriku, "Jangankan sayuran, pucuk sawo aja. Jika ibuku yang masak pasti terasa nikmat."
Siapa di antara kita yang menyukai masakan ibu? Siapa yang tidak menyukainya? Rasanya hampir tidak ada anak yang tidak menyukai maskan ibu.
Bahkan sambel plelek thok dengan nasi mampu dimakan dengan nikmat. Cuma dengan kerupuk saja. Sudah bagai surga dunia. Itu menurutku.
Kadang sambil makan ibu selalu bercerita, bagaimana di sekitar kita ada yang masih makan nasi angkin yang direndam lalu masak ulang. Dengan garam saja. Sesekali dengan ampas parutan kelapa.
Dengan begitu menikmati sambel plelek sudah sangat bersyukur. Ada nasi, ada sambel pula.
Hingga kini pun, ketika kebetulan tak ada apa-apa. Pada sat nasi sudah masak, mengepul. Tinggal petik beberapa biji cabek di depan rumah. Cuci bersih, uleg bersama bawang merah dan bawang putih mentah. Tambahkan sedikit gsram dan penyedap rasa. Jadilah santapan nikmat tak terkira.
Akh!!! Nikmat apaan, kata orang. Lah dari pada nggak ada. Hayok bagaimana!!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H