Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Chaos, Bagi yang Yakin Tanpa Ragu

26 Desember 2020   11:11 Diperbarui: 26 Desember 2020   14:17 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kamar kosong

Chaos, Bagi yang Yakin Tanpa Ragu


Dalam sebuan kamar, ketika penghuninya sedang bersaksi. Dinding beton jadi pembatas, kedap suara. Seisi kamar berbincang di antara mereka.

Tiga kata, "Yakin Tanpa Ragu."

Dinding berkata, "Semakin aku kuat, kalian semua akan semakin terjerat!"

"Aku punya ventelasi," sanggah kursi. "Cahaya matahari akan masuk menerangi."

"Bagaimana mungkin," sahut meja. "Apa gunanya cahaya, padahal kita tak bisa ke mana-mana? Berbagi cerita pun hanya kita yang jadi pendengarnya."

Karpet yang sejak tadi jadi pendengar yang baik, tak tahan tetap jadi pendengar. Ia merasa memiliki pendapat terbaik.

Selanjutnya katanya, "Aku yang tiap saat kalian injak. Sedikit pun tak pernah merasa tersakiti. Pun begitu rasa terima kasih juga tak pernah keluar dari mulut-mulutmu."

"Apa peduli kami!? Tugasmu memang menghamparkan diri. Menjadi alas buat kami. Tak ada alasan terima kasih dan memuji." Serempak meja dan kursi menimpali.

Beberapa saat mereka diam. Ketiganya merenungi percakapan yang telah terjadi. Kursi memiliki sedikit motivasi. Tidak seperti meja yang mulai putus asa. Dan karpet ingin apa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan. Tak berguna sama sekali.

Dinding kemudian bersenandung lirih, "... Jika suatu saat aku lapuk termakan zaman. Sedikit demi sedikit tubuhku akan jatuh satu persatu. Sejengkal demi sejengkal, keropos mampu membuat kalian semua melarikan diri dari kamar ini dari kungkungan tiraniku...."

"Setelah bebas dari kamar ini, akan kemanakah kami pergi?" tanya meja. "Bukankah tak bermanfaat sama sekali kehadiranku jika berada di luar sana? Aku akan menjadi batu sandungan dan penghalang orang lalulalang, jika diletakkan di tengah jalan."

"Aku juga," kata kursi.

"Demikian aku," karpet menimpali. "Kaki-kaki kotor pasti akan lebih ganas menginjak-injak tubuhku. Aku pasti akan segera rusak, kemudian akan membusuk di tengah kali. Lalu terbenam di dasarnya. Ikan-ikan mungkin tak akan berani mendekat, bahkan hanya untuk istirahat. Apalagi meninggalkan telur-telurnya."

"Lantas sebaiknya apa yang kita lakukan?" Kata mereka.

"Lihatlah pas bunga itu? Kecil dan sepertinya tak berfungsi selain penyejuk mata. Kapan sempat dilirik, itu pun hanya sebentar saja. Perawatannya lebih sulit daripada merawat kita. Mengapa bisa?" Dinding memberikan pertanyaan.

"Chaos!!! Apa enaknya? Bukankah selama ini kita bisa tidur dengan nyenyak. Bisa bekerja dengan seninya. Dan sesekali bercanda, meskipun sungguh kadang habisnya waktu tidak kita sadari. Tidak! Aku tidak mau!" Karpet memaknai pertanyaan dinding.

"Kau sungguh penghayal yang luar biasa," kata meja.

Di kamar yang pengap pun, masih ada ventilasi udara. Kita tidak akan lemas berebut udara. Itu memberi keyakinan hidung kita masih berfungsi seperti biasa.

Sesekali cahaya matahari masuk ke kamar ini, cukuplah untuk sedikit menerangi. Itu memberi keyakinan bahwa kita masih punya mata dan mampu melihat apa yang masih tersisa.

"Tapi kita berada dalam tirani!" Karpet memaksakan diri.

"Cukuplah kau hamparkan dirimu. Berfungsilah sebagaimana layaknya dirimu sekarang. Kau akan bertahan lama di sana." Nasihat dinding pada karpet.

"Aku lelah! Setiap saat hanya jadi tempat untuk diinjak-injak," lanjut karpet.

"Pernahkah kau mengalami keos?" Tanya meja dan kursi.

"Tidak!" jawab karpet.

"Aku juga belum. Dan aku tak berharap keadaan itu terjadi. Aku tak ingin tidurku berada dalam ketakutan. Aku tak ingin bangunku dalam kengerian." pungkas kursi.

"Biarlah aku jadi dinding yang kokoh kali ini. Nikmati saja sekarang. Aku akan melindungi kalian semua." Dinding menutup obrolan mereka.

Sementara dinding menyadari kamar itu sebentar lagi akan terbakar. Ia melihat api yang mulai menjalar membakar kamar-kamar lainnya di gedung itu.

Hanya cerita fiktif belaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun