Dinding kemudian bersenandung lirih, "... Jika suatu saat aku lapuk termakan zaman. Sedikit demi sedikit tubuhku akan jatuh satu persatu. Sejengkal demi sejengkal, keropos mampu membuat kalian semua melarikan diri dari kamar ini dari kungkungan tiraniku...."
"Setelah bebas dari kamar ini, akan kemanakah kami pergi?" tanya meja. "Bukankah tak bermanfaat sama sekali kehadiranku jika berada di luar sana? Aku akan menjadi batu sandungan dan penghalang orang lalulalang, jika diletakkan di tengah jalan."
"Aku juga," kata kursi.
"Demikian aku," karpet menimpali. "Kaki-kaki kotor pasti akan lebih ganas menginjak-injak tubuhku. Aku pasti akan segera rusak, kemudian akan membusuk di tengah kali. Lalu terbenam di dasarnya. Ikan-ikan mungkin tak akan berani mendekat, bahkan hanya untuk istirahat. Apalagi meninggalkan telur-telurnya."
"Lantas sebaiknya apa yang kita lakukan?" Kata mereka.
"Lihatlah pas bunga itu? Kecil dan sepertinya tak berfungsi selain penyejuk mata. Kapan sempat dilirik, itu pun hanya sebentar saja. Perawatannya lebih sulit daripada merawat kita. Mengapa bisa?" Dinding memberikan pertanyaan.
"Chaos!!! Apa enaknya? Bukankah selama ini kita bisa tidur dengan nyenyak. Bisa bekerja dengan seninya. Dan sesekali bercanda, meskipun sungguh kadang habisnya waktu tidak kita sadari. Tidak! Aku tidak mau!" Karpet memaknai pertanyaan dinding.
"Kau sungguh penghayal yang luar biasa," kata meja.
Di kamar yang pengap pun, masih ada ventilasi udara. Kita tidak akan lemas berebut udara. Itu memberi keyakinan hidung kita masih berfungsi seperti biasa.
Sesekali cahaya matahari masuk ke kamar ini, cukuplah untuk sedikit menerangi. Itu memberi keyakinan bahwa kita masih punya mata dan mampu melihat apa yang masih tersisa.
"Tapi kita berada dalam tirani!" Karpet memaksakan diri.