Mohon tunggu...
Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam Mohon Tunggu... Peneliti -

Aktivis sosial dan Pemerhati Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faisal Basri: Sosdem atau Neolib?

19 November 2014   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nov 17, 2014


Oleh: Arif Nurul Imam

Stigma ideologi yang melekat di wajah ekonom Faisal Basri memang paradoks. Di satu kalangan, ia dinilai sebagai tokoh politik dan ekonom berhaluan sosial demokrasi (sosdem), tapi di kubu lain kerap diasosiasikan dengan ideologi neoliberalisme alias pemuja pasar. Sewaktu di PAN, misalnya, mantan sekjen PAN ini, dipandang sebagai penganut paham sosdem, namun di beberapa kelompok intelektual aktivis kerap dituding berhaluan neoliberal.

Namun, menganut kedua ideologi tersebut juga mustahil. Tidak mungkin berkelamin ganda, karena itu hampir dipastikan menganut salah satu paham tersebut; entah sosdem atau pemuja pasar bebas.

Sesungguhnya, saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai untuk menjelaskan mengenai pertentangan kedua pandangan publik tersebut. Hanya saja, karena dinilai memiliki kedekatan pribadi serta mempunyai kemewahan untuk diskusi secara personal, acapkali diminta penjelasan oleh teman-teman yang berlatar belakang dari berbagai jenis profesi dan beragam ideologi, yang tidak kenal secara langsung dengan beliau. Tidak hanya itu, beberapa kawan yang mengenal langsung pun, pernah pula meminta penjelasan perihal tersebut, bahkan putra sulungnya yang kini tengah studi di Inggris.

Sewaktu mendampingi dalam Pilgub DKI Jakarta, misalnya, meski itu berlebihan, teman-teman di tim pemenangan kerapkali menempatkan saya semacam ahli tafsir pemikiran-pemikirannya. Saya kerap menjadi rujukan untuk menjelaskan tentang konsep-konsep beliau. Inilah alasan mengapa saya memberanikan diri menulis tentang tema ini.

Untuk bisa menilai seobjektif mungkin mengenai paham yang dianut seseorang, hemat saya, setidaknya bisa dilacak melalui aktivitas gerakan atau tindakan dan dibaca dari pemikiran-pemikirannya. Tanpa pijakan demikian, bisa jadi malah memerosokkan kita dalam tudingan tanpa data dan fakta objektif yang menjurus pada stigma atau labelisasi, yang tak jarang cuma digunakan sebagai alat kepentingan politik untuk mendiskreditkan seseorang.

Dengan menggunakan parameter tersebut, kiranya akan menghadirkan pandangan yang objektif, sekurang-kurangnya mendekati objektif. Tapi juga tidak menampik akan munculnya pandangan subjektivitas dari pribadi saya. Hanya saja, saya berusaha dan berkomitmen untuk mencoba menjelaskan seobjektif mungkin sesuai dengan apa yang saya ketahui dan pahami.

Dalam paparan risalah pendek ini, akan bertumpu pada nilai serta parameter tersebut untuk meneropong seperti apa sosok Faisal Basri dilihat dari sisi pemikiran serta keyakinan ideologi ekonomi-politik.

Aktivitas gerakan dan pemikiran
Sewaktu mendirikan PAN, ia beserta tim perumus lainnya mendesain partai berlambang matahari tersebut berhaluan sosdem. Hal ini karena, referensi yang digunakan dalam menyusun haluan dan azas partai merujuk literatur Partai Politik haluan sosdem. Ia mengisahkan bagaimana pergumulan dan perdebatan ideologi ketika menyusun platform serta garis haluan partai bersama beberapa tokoh, di antaranya dengan Profesor Dawam Raharjo. Karena itu, menurut dia, PAN saat berdiri adalah partai berhaluan sosdem.

Di tahun 2004, pasca keluar dari PAN, lelaki kelahiran Bandung ini, kemudian mendirikan ormas Pergerakan Indonesia. Lagi-lagi ormas yang kini dipimpin Arie Sujito dosen Fisipol UGM itu berhaluan sosdem. Cara perjuangan, kajian isu, dan pengkaderan politik yang diselenggarakan selalu merujuk pada ideologi dan gerakan sosdem.

Ekonom yang produktif menulis tersebut, juga didapuk sebagai salah satu redaktur di jurnal sosial demokrasi terbitan NGO internasional yang berkantor di Jakarta. Jurnal tersebut dimaksudkan sebagai sarana diseminasi gagasan serta mengupas persolan-persoalan yang melingkupi gerakan sosdem di Indonesia.

Sebagai intelektual, sosok Faisal Basri memang tidak diragukan lagi soal produktivitas pemikiran yang bisa dilihat dari berbagai karya tulis seperti buku, analisis di jurnal, dan media massa. Beberapa pemikiran beliau bisa kita simak, terkait isu-isu pokok yang menurut saya penting dan kerap menjadi perdebatan publik.

Pertama, soal pasar. Ia memandang peran negara harus diperbesar, sejalan dengan semakin besarnya peran pasar. Ini untuk menjamin agar pasar tidak anarkis, untuk menjamin agar pasar tidak menimbulkan jurang antara yang super kaya dan yang miskin. Pasar tidak bisa dimusuhi melainkan harus dikendalikan oleh negara.

Jadi, tidak sama artinya sebagai pemuja pasar sebagaimana neoliberalisme rumusan Adam Smith yang mendorong terjadinya  pasar persaingan sempurna yang harus bebas dari campur tangan pemerintah. Jika sepintas, akan terlihat mirip, namun jelas terdapat perbedaan yang fundamental. Bahwa pasar harus dikendalikan oleh negara supaya bisa melindungi kelompok yang memiliki daya saing yang lebih lemah. Pemikiran ini, saya kira senafas dengan pandangan sosdem, yang tidak menafikan pasar meski harus dikendalikan oleh pemerintah.

Kedua, perihal jaminan sosial, mantan penasehat presiden Gus Dur ini, secara gamblang dalam berbagai tulisan dan presentasi berulang kali mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan di Indonesia sistem jaminan sosial secara komprehensif. Hal ini karena, sektor informal merupakan sektor yang paling banyak menampung tenaga kerja dan tak memiliki jaminan sosial. Kondisi demikian menimbulkan kerentanan sehingga pemerintah wajib memproteksi dengan sistem jaminan sosial secara komprehensif. Keyakinan beliau, untuk menuju cita-cita negara maju, sistem jaminan sosial adalah harga mutlak.

Aktivitas intelektual lainnya, di luar negeri kerap diposisikan sebagai ekonom yang berpandangan sosdem. Bulan kemarin, Oktober 2014, di undang di Canberra, Australia untuk memaparkan presentasi tentang social policy bersama Dr. Dinna Wisnu salah satu pakar jaminan sosial di Indonesia dan Gatot Arya Putra yang juga seorang ekonom. Tak hanya itu, salah satu kampiun sosial demokrasi Profesor Thomas Meyer yang juga Dewan Penasehat Partai Sosial Demokrat (SPD) Jerman pernah diskusi tukar pikiran mengenai tantangan dan prospek sosdem di Indonesia.

Jika melacak guratan sejarah, baik dari tindakan-tindakan dalam aktivisme gerakan dan pemikiran yang dihasilkan, tidak diragukan lagi ekonom Universitas Indonesia(UI) tersebut penganut paham sosdem tulen.

Stigma Neolib
Meski demikian, beberapa pihak kerap menuding sebagai seorang neolib, karena kemungkinan beberapa latar belakang yang menjadi sumber pemicu.

Pertama, sebagaimana persepsi publik selama ini, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesei seringkali dipandang sebagai gudang ekonom neolib. Bahkan dalam sebuah seminar di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, Profesor Edi Swasono yang juga ekonom UI menyebut Fakultas Ekonomi UI merupakan sarang neolib di Indonesia. Di masa Orde Baru, fakultas ekonomi UI juga dikenal sebagai sarang Mafia Berkeley.

Akibat dari dosa turunan ini, tak ayal terjadi generalisasi persepsi terhadap alumni fakultas ekonomi UI, termasuk Faisal Basri, apalagi ditambah melanjutkan studi di Amerika Serikat. Lengkap sudah atribut stigma neolib.

Padahal, materi kuliah yang di sampaikan sudah diganti dan tidak sama dengan bahan yang diberikan oleh para seniornya ketika ia kuliah. Pria berkacamata ini, menyusun diktat sendiri dan diupayakan sesuai dengan nafas sosdem. Di Fakultas Ekonomi UI, ia dianggap ‘nyempal’ dari madzab mainstream.

Kedua, soal isu publik yang hangat, terutama Bahan Bakar Minyak(BBM). Isu ini sepanjang rezim menjadi isu panas karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Secara konsisten dan tegas imendukung pengurangan subsidi BBM karena subsidi BBM menjadi kanker ganas yang menggerogoti APBN.

Dikatakan kanker ganas karena, subsidi BBM yang seharusnya disalurkan untuk mendanai sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi berkurang drastis. Dana subsidi di tahun 2014 ini hampir mencapai 250 trilyun, habis dibakar untuk subsidi BBM. Versi data yang dipegang terjadi trend peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, sejalan dengan makin melonjaknya jumlah pemakai kendaraan pribadi.

Selain sebagai kanker ganas, masih menurut ekonom alumni  Vanderbilt University, Amerika Serikat ini, subsidi BBM juga mengandung ketidakadilan. Disebut demikian karena, dana yang besar itu seharusnya diutamakan untuk mensubsidi orang miskin dan membiayai pembangunan justru peruntukannya dinikmati kelas menengah keatas. Ini yang ia sebut bentuk ketidakadilan.

Tentu tidak menampik harus dibarengi upaya memberantas mafia migas, dan persoalan yang melingkupinya. Hanya saja, sebagai ekonom realis, ia tak ingin negeri ini pembangunan mangkrak lantaran banyak disedot untuk subsidi BBM sehingga meminggirkan sektor-sektor lain yang harus dibiayai oleh pemerintah. Seharusnya, dana subsidi BBM tersebut bisa dialihkan untuk digunakan pada mereka yang lebih berhak, yakni rakyat kecil, di samping untuk membiayai pada sektor-sektor publik strategis lainnya seperti, membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor lain. Apalagi saat ini, Indonesia lagi menikmati bonus demografi yang jika di efektifkan dalam mengelola keuangan negara akan mempercepat menuju negara makmur.

Karena itu, pandangan soal pengurangan subsidi BBM menurut saya lebih didasari oleh fakta objektif mengenai postur APBN dan peruntukan agar lebih efektif dalam mempercepat menuju negara maju di satu pihak, dan dipihak lain mendorong keadilan agar penerima subsidi APBN bukan justru dinikmati oleh orang mampu, melainkan rakyat miskin. Bukan soal pemuja pasar atau antipasar.

Saya kira inilah salah satu penyebab stigma neolib tersebut acapkali dialamatkan pada dirinya karena dianggap pemuja pasar sebab mendukung pengurangan subsidi BBM.
Jadi, soal stigma yang kerap dialamatkan pada dirinya sebagai seorang neolib sesungguhnya kurang memiliki relevansi. Beberapa kali bertanya soal tudingan sebagai neolib, selalu ditanggapi dengan enteng. Ia tak terlalu memusingkan, sebab stigma neolib, menurut dia, hanya digunakan sebagai alat kepentingan politik saja. Hanya soal untuk mendelegitimasi dan mendiskreditkan secara diskursus intelektual dan tidak menutup kemungkinan juga politik.

Oleh sebab itu, sebagaimana pengakuan dirinya, ia merupakan pemeluk dengan mazhab sosdem dalam tataran praksis maupun akademis. Cuma dalam tataran konseptual atau gagasan, ia realis menanggapi persoalan-persoalan ekonomi-politik yang kadang harus berdamai dengan pasar. Tapi, sekali lagi, ia bukan pemuja pasar bebas, sebab pasar harus di intervensi agar tak berwatak anarkis pada mereka yang hanya memiliki daya saing rendah.

Sebagai orang yang kerap diskusi dengan beliau, saya justru memiliki penilaian agak berbeda. Saya tidak mau terjebak pada perangkap dua stigma tersebut. Sebab kadang saya berpikiran, jangan-jangan politik gaya Orde Baru masih terus berlangsung meski di jaman reformasi. Kita tentu masih ingat bagaimana Orde Baru akan melakukan labelisasi dengan stigma komunis bagi mereka yang melawan penguasa. Dalam kasus berbeda, neolib boleh jadi juga merupakan stigma yang sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan lawan pemikiran atau lawan politiknya. Akan tetapi, berdasar sepak terjang, saya meyakini, ia akan memperjuangkan buah pemikiran melalui jalur perjuangan politik sosial demokrasi di bumi Nusantara.

Di muat di satunegeri.com, 17 November 2014

http://satunegeri.com/faisal-basri-sosdem-atau-neolib/

http://arifnurulimam.blogspot.com/2014/11/faisal-basri-sosdem-atau-neolib.html#more

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun