Mohon tunggu...
Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam Mohon Tunggu... Peneliti -

Aktivis sosial dan Pemerhati Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faisal Basri: Sosdem atau Neolib?

19 November 2014   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ekonom yang produktif menulis tersebut, juga didapuk sebagai salah satu redaktur di jurnal sosial demokrasi terbitan NGO internasional yang berkantor di Jakarta. Jurnal tersebut dimaksudkan sebagai sarana diseminasi gagasan serta mengupas persolan-persoalan yang melingkupi gerakan sosdem di Indonesia.

Sebagai intelektual, sosok Faisal Basri memang tidak diragukan lagi soal produktivitas pemikiran yang bisa dilihat dari berbagai karya tulis seperti buku, analisis di jurnal, dan media massa. Beberapa pemikiran beliau bisa kita simak, terkait isu-isu pokok yang menurut saya penting dan kerap menjadi perdebatan publik.

Pertama, soal pasar. Ia memandang peran negara harus diperbesar, sejalan dengan semakin besarnya peran pasar. Ini untuk menjamin agar pasar tidak anarkis, untuk menjamin agar pasar tidak menimbulkan jurang antara yang super kaya dan yang miskin. Pasar tidak bisa dimusuhi melainkan harus dikendalikan oleh negara.

Jadi, tidak sama artinya sebagai pemuja pasar sebagaimana neoliberalisme rumusan Adam Smith yang mendorong terjadinya  pasar persaingan sempurna yang harus bebas dari campur tangan pemerintah. Jika sepintas, akan terlihat mirip, namun jelas terdapat perbedaan yang fundamental. Bahwa pasar harus dikendalikan oleh negara supaya bisa melindungi kelompok yang memiliki daya saing yang lebih lemah. Pemikiran ini, saya kira senafas dengan pandangan sosdem, yang tidak menafikan pasar meski harus dikendalikan oleh pemerintah.

Kedua, perihal jaminan sosial, mantan penasehat presiden Gus Dur ini, secara gamblang dalam berbagai tulisan dan presentasi berulang kali mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan di Indonesia sistem jaminan sosial secara komprehensif. Hal ini karena, sektor informal merupakan sektor yang paling banyak menampung tenaga kerja dan tak memiliki jaminan sosial. Kondisi demikian menimbulkan kerentanan sehingga pemerintah wajib memproteksi dengan sistem jaminan sosial secara komprehensif. Keyakinan beliau, untuk menuju cita-cita negara maju, sistem jaminan sosial adalah harga mutlak.

Aktivitas intelektual lainnya, di luar negeri kerap diposisikan sebagai ekonom yang berpandangan sosdem. Bulan kemarin, Oktober 2014, di undang di Canberra, Australia untuk memaparkan presentasi tentang social policy bersama Dr. Dinna Wisnu salah satu pakar jaminan sosial di Indonesia dan Gatot Arya Putra yang juga seorang ekonom. Tak hanya itu, salah satu kampiun sosial demokrasi Profesor Thomas Meyer yang juga Dewan Penasehat Partai Sosial Demokrat (SPD) Jerman pernah diskusi tukar pikiran mengenai tantangan dan prospek sosdem di Indonesia.

Jika melacak guratan sejarah, baik dari tindakan-tindakan dalam aktivisme gerakan dan pemikiran yang dihasilkan, tidak diragukan lagi ekonom Universitas Indonesia(UI) tersebut penganut paham sosdem tulen.

Stigma Neolib
Meski demikian, beberapa pihak kerap menuding sebagai seorang neolib, karena kemungkinan beberapa latar belakang yang menjadi sumber pemicu.

Pertama, sebagaimana persepsi publik selama ini, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesei seringkali dipandang sebagai gudang ekonom neolib. Bahkan dalam sebuah seminar di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, Profesor Edi Swasono yang juga ekonom UI menyebut Fakultas Ekonomi UI merupakan sarang neolib di Indonesia. Di masa Orde Baru, fakultas ekonomi UI juga dikenal sebagai sarang Mafia Berkeley.

Akibat dari dosa turunan ini, tak ayal terjadi generalisasi persepsi terhadap alumni fakultas ekonomi UI, termasuk Faisal Basri, apalagi ditambah melanjutkan studi di Amerika Serikat. Lengkap sudah atribut stigma neolib.

Padahal, materi kuliah yang di sampaikan sudah diganti dan tidak sama dengan bahan yang diberikan oleh para seniornya ketika ia kuliah. Pria berkacamata ini, menyusun diktat sendiri dan diupayakan sesuai dengan nafas sosdem. Di Fakultas Ekonomi UI, ia dianggap ‘nyempal’ dari madzab mainstream.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun