Mohon tunggu...
Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam Mohon Tunggu... Peneliti -

Aktivis sosial dan Pemerhati Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faisal Basri: Sosdem atau Neolib?

19 November 2014   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, soal isu publik yang hangat, terutama Bahan Bakar Minyak(BBM). Isu ini sepanjang rezim menjadi isu panas karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Secara konsisten dan tegas imendukung pengurangan subsidi BBM karena subsidi BBM menjadi kanker ganas yang menggerogoti APBN.

Dikatakan kanker ganas karena, subsidi BBM yang seharusnya disalurkan untuk mendanai sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi berkurang drastis. Dana subsidi di tahun 2014 ini hampir mencapai 250 trilyun, habis dibakar untuk subsidi BBM. Versi data yang dipegang terjadi trend peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, sejalan dengan makin melonjaknya jumlah pemakai kendaraan pribadi.

Selain sebagai kanker ganas, masih menurut ekonom alumni  Vanderbilt University, Amerika Serikat ini, subsidi BBM juga mengandung ketidakadilan. Disebut demikian karena, dana yang besar itu seharusnya diutamakan untuk mensubsidi orang miskin dan membiayai pembangunan justru peruntukannya dinikmati kelas menengah keatas. Ini yang ia sebut bentuk ketidakadilan.

Tentu tidak menampik harus dibarengi upaya memberantas mafia migas, dan persoalan yang melingkupinya. Hanya saja, sebagai ekonom realis, ia tak ingin negeri ini pembangunan mangkrak lantaran banyak disedot untuk subsidi BBM sehingga meminggirkan sektor-sektor lain yang harus dibiayai oleh pemerintah. Seharusnya, dana subsidi BBM tersebut bisa dialihkan untuk digunakan pada mereka yang lebih berhak, yakni rakyat kecil, di samping untuk membiayai pada sektor-sektor publik strategis lainnya seperti, membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor lain. Apalagi saat ini, Indonesia lagi menikmati bonus demografi yang jika di efektifkan dalam mengelola keuangan negara akan mempercepat menuju negara makmur.

Karena itu, pandangan soal pengurangan subsidi BBM menurut saya lebih didasari oleh fakta objektif mengenai postur APBN dan peruntukan agar lebih efektif dalam mempercepat menuju negara maju di satu pihak, dan dipihak lain mendorong keadilan agar penerima subsidi APBN bukan justru dinikmati oleh orang mampu, melainkan rakyat miskin. Bukan soal pemuja pasar atau antipasar.

Saya kira inilah salah satu penyebab stigma neolib tersebut acapkali dialamatkan pada dirinya karena dianggap pemuja pasar sebab mendukung pengurangan subsidi BBM.
Jadi, soal stigma yang kerap dialamatkan pada dirinya sebagai seorang neolib sesungguhnya kurang memiliki relevansi. Beberapa kali bertanya soal tudingan sebagai neolib, selalu ditanggapi dengan enteng. Ia tak terlalu memusingkan, sebab stigma neolib, menurut dia, hanya digunakan sebagai alat kepentingan politik saja. Hanya soal untuk mendelegitimasi dan mendiskreditkan secara diskursus intelektual dan tidak menutup kemungkinan juga politik.

Oleh sebab itu, sebagaimana pengakuan dirinya, ia merupakan pemeluk dengan mazhab sosdem dalam tataran praksis maupun akademis. Cuma dalam tataran konseptual atau gagasan, ia realis menanggapi persoalan-persoalan ekonomi-politik yang kadang harus berdamai dengan pasar. Tapi, sekali lagi, ia bukan pemuja pasar bebas, sebab pasar harus di intervensi agar tak berwatak anarkis pada mereka yang hanya memiliki daya saing rendah.

Sebagai orang yang kerap diskusi dengan beliau, saya justru memiliki penilaian agak berbeda. Saya tidak mau terjebak pada perangkap dua stigma tersebut. Sebab kadang saya berpikiran, jangan-jangan politik gaya Orde Baru masih terus berlangsung meski di jaman reformasi. Kita tentu masih ingat bagaimana Orde Baru akan melakukan labelisasi dengan stigma komunis bagi mereka yang melawan penguasa. Dalam kasus berbeda, neolib boleh jadi juga merupakan stigma yang sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan lawan pemikiran atau lawan politiknya. Akan tetapi, berdasar sepak terjang, saya meyakini, ia akan memperjuangkan buah pemikiran melalui jalur perjuangan politik sosial demokrasi di bumi Nusantara.

Di muat di satunegeri.com, 17 November 2014

http://satunegeri.com/faisal-basri-sosdem-atau-neolib/

http://arifnurulimam.blogspot.com/2014/11/faisal-basri-sosdem-atau-neolib.html#more

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun