Mohon tunggu...
Arif Muhammad
Arif Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulislah untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Masa Kecil di Bulan Ramadan yang Penuh dengan Ledakan

3 Juni 2018   21:26 Diperbarui: 4 Juni 2018   10:00 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit Image : google.com

Bila seandainya saya diberikan satu permintaan, saya ingin meminta untuk dikembalikan ke masa kecil saya dulu. Mengulang kehidupan kembali dan merasakan moment-moment yang amat dirindukan kala itu. Terlebih di bulan Ramadhan.

Waktu saya kecil, Ramadhan adalah salah satu momen yang paling ditunggu. Mengapa? Ya, karena menyenangkan. Semasa kecil belum begitu menyadari dan memikirkan, Ramadhan adalah bulan penuh dengan hikmah dan sarat ibadah. Belum berpikir hingga ke situ. Yang saya tahu Ramadhan adalah bulan di mana orang-orang berpuasa dan melaksanakan tarawih bersama setiap hari.

Lalu apa yang membuat Ramadhan begitu menyenangkan?

Saya pernah merasakan di tahun 2000-an, kala itu negera kita dipimpin oleh Gus Dur. Gus Dur adalah presiden. Salah satu kebijakan beliau kala itu yang saya yakin semua anak-anak sekolahan dari Sabang sampai Merauke bersuka cita berjamaah. Ya, kebijakan beliau adalah meliburkan sekolah satu bulan penuh selama Ramadhan.  Wow bukan?

Suatu kebijakan yang mungkin tidak akan kita jumpai saat ini maupun di masa yang akan datang. Sungguh sangat kebijakan yang pro akan anak sekolah.

Tentu dengan libur satu bulan, membuat saya sangat girang. Terlebih libur di bulan Ramadhan. Otak saya sudah dipenuhi dengan hal-hal menyenangkan yang akan saya lakukan bersama-sama dengan kawan.

Waktu itu, di kampung saya, bilan bulan Ramadhan menjelang,  selain diikuti dengan munculnya iklan sirup marjan di televisi secara tiba-tiba, juga diikuti suara-suara 'ledakan' petasan, yang buat saya itu begitu merdu. Ya, merdu karena itu hanya jadi tren selama puasa, dan itu satu tahun sekali pula.

Makannya saya jadi rindu suara petasan. 

Kala itu petasan belum begitu dilarang seperti sekarang ini. Masih dijual bebas di pasaran, dan anak-anak pun boleh beli, termasuk saya.

Bermain dengan petasan, satu hal yang bagi saya sangat khas dan menyenangkan, karena hanya ada di Ramadhan. Selepas shubuh di sahur hari pertama, kami (saya & kawan-kawan) hampir pasti pergi jalan-jalan pagi. Biasanya kami menuju alun-alun kota dan tentunya kami juga membawa 'misil'.

Petasan korek, misil andalan kala itu. (credit image : bordeline-schizophrenic.blogspot.com)
Petasan korek, misil andalan kala itu. (credit image : bordeline-schizophrenic.blogspot.com)
Bukan hanya kami yang melakukan demikian, pergi jalan --jalan pagi sambil bermain petasan. Rata-rata anak usia kami juga melakukan hal yang sama,  dan mereka juga menuju alun-alun. Ramai sekali. dan penuh dengan ledakan di sana-sini.

Saya masih ingat betul bagaimana suasana pagi kala itu. Dinginnya kota kami, diselingi suara-suara petasan yang bersahutan dengan suara orang mengaji yang keluar dari speaker masjid.

Sebenarnya kegiatan di alun-alun itu hanya bermain petasan dan nongkrong. Kadang ada pula yang memanfaatkannya sebagai arena cinta lokasi dengan teman sebaya. Cinta monyet khas anak-anak 90-an yang metode pendekatannya masih sangat konvensional dan jauh dari yang namanya gadget.

Itu kegiatan pagi ketika saya kecil di bulan Ramadhan. Kalau di siang hari, hampir tidak ada beda dengan hari-hari di bulan yang lain. Malah, di siang hari adalah waktu yang menurut saya paling membosankan bila tidak ada aktivitas di luar. Hanya di rumah sambil menahan lapar. Melihat jarum jam yang bergerak perlahan, bgitu enggan untuk berlari agar lekas maghrib.

Dilemanya adalah kalau hanya di rumah sangat bosan, ingin bermain di luar. Namun ketika nanti main ke luar,ujung-ujungnya tidak kuat puasanya. Dulu arena bermain saya adalah seperti sawah, sungai, kuburan, atau hutan kecil. Yang kesemuanya melibatkan aktvitas fisik, sehingga cepat membuat lapar dan dahaga.

Apalagi masih anak-anak. Tidak semua kawan saya puasa. Ada yang tidak, sehingga ketika bermain bersama dia sambil minum es. Saya jadi tergoda, akhirnya batal puasa. Kalau sudah begitu, siap-siap kena marah orang rumah.

Yang paling dirindukan memang ketika hari sudah mulai sore. Selepas ashar adalah waktu bermain paling favorit. Tidak terlalu gerah, lebih ramai, karena kebanyakan anak-anak juga keluarnya sore hari, dan sambil menunggu waktu berbuka puasa. Jadi tidak khawatir semisal kehausan atau kelaparan, karena begitu pulang sudah saatnya berbuka puasa.

Aktivitas sore di Ramadhan saya kala itu, kalau lagi nakal saya ikut main petasan lagi, yaitu main meriam bambu di sawah. Tapi kalau lagi jadi anak baik,ikut tadarusan di masjid. MOotivasi utamanya ikut tadarusan adalah nanti bisa dapat takjil. 

Sedikit ingin bercerita ketika bermain meriam bambu. Buat saya ini juga sangat khas sekali, dan hanya ada di bulan Ramadhan. Ramai-ramai di sawah, bersama kawan, adu keseruan, meriam siapa yang paling menggelegar suaranya. Sungguh sangat menyenangkan. Ramai sekali. satu meriam dengan meriam yang lain bersahut-sahutan dan tidak ada yang mau kalah.

Seakan-akan di depan ada musuh yang tengah menyerang. Kami barisan depan dengan meriam di tangan dengan beringat menembakkan meriam ke depan untuk membasmi pasukan musuh. Perumpamaannya seperti itu.

Credit Image : google.com
Credit Image : google.com
Bagi yang belum tahu apa itu meriam bambu, bisa di-gooling, bagaiman bentuk dan cara membuatnya. Sangat sederhana sekali tapi begitu mengasyikkan hingga lupa waktu.

Selepas berbuka, setelah sholat maghrib, yang biasanya orang memanfaatkan waktu tersebut untuk bersantai dan beristirahat di rumah sambil menunggu waktu isya dan tarawih, tapi tidak buat saya dulu. Pulang ke rumah hanya untuk makan, setelah selesa solat di masjid, langsung kabur lagi. Main di luar. Main petasan lagi,sambil menunggu waktu sholat tarawih.  

Makannya tak heran saya dan yang lainnya kerap kena marah orang. Entah itu tetangga atau orang tua sendiri, karena bandelnya main petasan.

Ketika sudah waktunya tarawih, saya dan kawan-kawan lain pergi ke masjid untuk ikut sholat juga. Namun kebanyakan hanya ikut di sholat Isya-nya saja dan witir. Tarawihnya tidak. Karena ketika itu malah asyik bercanda di shof paling belakang. Begitu terus setiap hari. Seakan-akan ada saja hal-hal yang menjadi topic atau bahan candaan. Tiada habisnya.

Setelah turun sholat tarawih, kami kembali bermain petasan lagi. Biasanya bermain di pinggir jalan atau pertigaan kampung.

Nah serunya, waktu itu kerap terjadi 'perang saudara' antara pemuda di RT saya dengan pemuda di RT sebelah. Mereka saling serang menggunakan petasan, hingga terjadilah suasana 'perang' yang sangat ramai setiap malamnya. Saya bukan malah pergi atau menjauh, malah ikut-ikutan, dan tidak bakal berhenti hingga Ibu saya datang menghampiri dengan sapu di tangannya.

Ramadhan di masa kecil saya memang penuh dengan ledakan-ledakan yang begitu memorable. Keseruan kala itu masih saja terngiang hingga kini. Saya sangat bersyukur masih bisa mengalami masa-masa itu, yang mungkin tidak dapat dialami oleh generasi sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun