Makannya tak heran saya dan yang lainnya kerap kena marah orang. Entah itu tetangga atau orang tua sendiri, karena bandelnya main petasan.
Ketika sudah waktunya tarawih, saya dan kawan-kawan lain pergi ke masjid untuk ikut sholat juga. Namun kebanyakan hanya ikut di sholat Isya-nya saja dan witir. Tarawihnya tidak. Karena ketika itu malah asyik bercanda di shof paling belakang. Begitu terus setiap hari. Seakan-akan ada saja hal-hal yang menjadi topic atau bahan candaan. Tiada habisnya.
Setelah turun sholat tarawih, kami kembali bermain petasan lagi. Biasanya bermain di pinggir jalan atau pertigaan kampung.
Nah serunya, waktu itu kerap terjadi 'perang saudara' antara pemuda di RT saya dengan pemuda di RT sebelah. Mereka saling serang menggunakan petasan, hingga terjadilah suasana 'perang' yang sangat ramai setiap malamnya. Saya bukan malah pergi atau menjauh, malah ikut-ikutan, dan tidak bakal berhenti hingga Ibu saya datang menghampiri dengan sapu di tangannya.
Ramadhan di masa kecil saya memang penuh dengan ledakan-ledakan yang begitu memorable. Keseruan kala itu masih saja terngiang hingga kini. Saya sangat bersyukur masih bisa mengalami masa-masa itu, yang mungkin tidak dapat dialami oleh generasi sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H