Â
Catatan  Arif Minardi
Aksi mogok atau cuti bersama para hakim pengadilan pada 7-11 Oktober 2024 telah direspon positif oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto dan segenap anggota DPR. Tuntutan para hakim pada prinsipnya terkait dengan kenaikan penghasilan atau gaji. Aksi para hakim di atas merupakan preseden atau contoh kepada seluruh profesi yang ada di negeri ini bahwa tuntutan kenaikan gaji atau upah yang paling efektif adalah melalui unjuk rasa besar-besaran disertai mogok kerja seluas-luasnya.Â
Tampaknya untuk sementara para hakim sudah puas karena aspirasi dan tuntutannya akan segera dikabulkan. Hal ini tentu menginspirasi seluruh pekerja dari berbagai jenis profesi yang ada di negara ini. Terlebih para pekerja atau buruh yang sepanjang pemerintahan rezim Jokowi terus mengalami penderitaan akibat kebijakan upah murah yang ditentukan dengan cara yang represif.
Diharapkan Presiden Prabowo Subianto tidak lagi meneruskan kebijakan upah presiden sebelumnya yang terbukti menyengsarakan buruh. Apalagi kebijakan represif tersebut sangat bertolak belakang dengan kaidah dunia, hal itu terlihat dalam teori terkait upah minimum yang berhasil meraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2021.
Periode kekuasaan Jokowi terus diwarnai dengan penentuan upah minimum yang sangat represif. Bahkan pemerintah pusat mengancam terhadap kepala daerah yang tidak mampu menerapkan ketentuan upah akan dicopot.
Penentuan upah dilakukan secara tangan besi oleh pemerintah. Dengan dalih penetapan upah minimum adalah program strategis nasional maka tidak ada lagi kompromi yang membuka peluang penentuan upah diluar ketentuan PP No.36/2021.
Pemerintah Jokowi selalu pasang badan untuk melindungi kepentingan pengusaha terkait dengan ketentuan upah. Suara organisasi pekerja tidak digubris. Sungguh ironis, kenaikan upah minimum yang sangat kecil tersebut selalu diputuskan dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Kebijakan represif upah di-backup oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kejaksaan Agung.
Rezim pengupahan tangan besi yang represif juga terlihat dengan dihapusnya upah minimum berdasarkan sektor. Kementerian Ketenagakerjaan memastikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2021 tentang Pengupahan hanya mengatur soal upah minimum berdasarkan wilayah. Regulasi tersebut tidak lagi mengatur upah minimum berdasarkan sektor.
Pemerintah pusat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan upah minimum (UM). Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan sanksi itu diambil untuk memastikan program strategis nasional ihwal UM dapat ditaati oleh setiap daerah. Mendagri juga mengancam kepada gubernur agar menuruti ketentuan upah minimum.
Nobel Ekonomi tentang Upah MinimumÂ
Kebijakan langkah pemerintah yang sangat represif dalam penentuan upah minimum merupakan degradasi terhadap kesejahteraan kaum pekerja. Sikap pemerintah yang sangat anti kenaikan upah minimum sangat bertentangan dengan kaidah global.
Dunia sempat dicerahkan oleh penerima Nobel Bidang Ekonomi tahun 2021 yang karya penelitiannya terkait dengan kenaikan upah minimum ternyata menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta berdampak negatif terhadap perekonomian khususnya penyerapan tenaga kerja dan pengangguran.
Penghargaan tersebut jatuh ke tangan tiga ekonom, yaitu David Card, Joshua D. Angrist, dan Guido W. Imbens. David Card adalah seorang profesor ekonomi dari University of California, Berkeley.
Dia mendapatkan anugerah Nobel berkat kontribusinya secara substansial dan metodologis pada bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan. Sedangkan Joshua Angrist (MIT) dan Guido Imbens (Stanford) berkontribusi pada sisi metodologi mengenai hubungan sebab akibat (causal relationship) dan juga merupakan penguatan dari metodologi eksperimen alamiah (natural experiment) yang awalnya dikembangkan David Card.
Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.
Menurut Devanto Shasta Pratomo. Guru besar Fakultas Ekonomi Ketenagakerjaan, Universitas Brawijaya Malang, temuan tersebut memberikan pencerahan dan wacana baru bagi para peneliti maupun pengambil kebijakan di banyak negara.
Meskipun, kondisi ini juga sangat bergantung pada banyak hal. Seperti bagaimana kondisi pasar kerja, karakteristik dan profil pasar kerja, serta kondisi persaingan usaha pada wilayah tersebut.
Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.
Implikasi bagi Indonesia
Secara umum, temuan David Card ini memberikan wawasan baru dalam perdebatan ilmiah tentang dampak kenaikan upah minimum yang selama ini cenderung konvensional. Temuan substansial ini juga dapat menjadi sebuah amunisi bagi para pejuang pro kenaikan upah minimum. Meski kemudian pertanyaannya adalah sampai berapa tinggi upah minimum tersebut layak untuk dinaikkan.
Bagaimana implikasi temuan David Card bagi Indonesia? Menurut Profesor Devanto, Indonesia adalah sebuah laboratorium ekonomika ketenagakerjaan yang menarik di mana tingkat upah minimum berbeda antarwilayah. Bahkan, tingkat upah minimum di Indonesia berbeda di level wilayah yang lebih kecil daripada kasus negara bagian di Amerika Serikat, yaitu sampai pada tingkat kabupaten atau kota.
Pemikiran David Card ini, pertama, memberikan pelajaran mengenai pentingnya mencermati dinamika tingkat upah minimum daerah di sekitar maupun daerah periferi. Mungkin karakteristik pasar kerja di New Jersey dan Pennsylvania kuranglah tepat apabila dibandingkan apple-to-apple dengan Jakarta dengan Bodetabek-nya ataupun Surabaya dengan daerah penyangganya dalam Gerbangkertosusila.
Namun, ketidakcermatan dalam melihat dinamika pasar tenaga kerja di wilayah sekitar, apalagi ditambah dengan ego wilayah dalam penetapan upah minimum, dapat memberikan dampak yang kurang positif bagi pasar kerja suatu wilayah.
Kedua, secara metodologis, studi eksperimental alamiah yang dilakukan David Card ini membuka peluang untuk dilakukan kajian-kajian serupa untuk melihat seberapa efektif kebijakan upah minimum di banyak daerah. Apalagi mencermati dinamika terkini semasa pandemi di mana tidak semua wilayah di Indonesia secara seragam menaikkan tingkat upah minimum.
Ketiga, temuan David Card tentang dampak kenaikan upah minimum yang tidak selalu berdampak negatif terhadap kesempatan kerja ini mungkin saja ditemukan di banyak tempat di Indonesia.
Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang unik dan tersegmentasi antara sektor formal dan informal memungkinkan terjadinya pergeseran pekerja dari sektor formal (sektor yang diatur dengan kebijakan upah minimum) ke sektor informal (sektor yang tidak diatur dengan kebijakan upah minimum) ketika upah minimum naik. Sehingga secara agregat, kenaikan upah minimum belum tentu berakibat pada naiknya angka pengangguran atau penurunan penyerapan tenaga kerja. (AM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H