Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Risiko Pasar Kerja Fleksibel Kesehatan Mental Jadi Riskan

4 Oktober 2024   12:59 Diperbarui: 4 Oktober 2024   13:00 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tekanan Pekerjaan Picu Gangguan Kesehatan Mental Pekerja (sumber kompas.id)

Catatan  Arif Minardi 

Pasar kerja fleksibel kini semakin banyak ditawarkan di berbagai negara, dan mulai menjalar di Indonesia. Pasar kerja fleksibel menuntut pekerja memampatkan minggu kerja mereka menjadi lebih sedikit hari. Seminggu bisa dimampatkan menjadi empat atau tiga hari saja. Bahkan volume pekerjaan sebulan bisa dimampatkan hanya menjadi sepuluh hari kerja.

Fleksibilitas adalah prinsip dasar gig economy, yakni merupakan sistem pasar tenaga kerja fleksibel yang memungkinkan perusahaan untuk merekrut pekerja secara sementara atau kontrak jangka pendek. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan diatas telah melakukan proses kerja yang dikompres atau dimampatkan sehingga waktu kerja bisa lebih singkat harinya. Pekerja dipersilahkan kerja diluar kantor sekehendak hatinya dengan cara lembur gila-gilaan yang penting volume pekerjaan selesai dalam durasi waktu yang telah disepakati. Semisal pekerja mau kerja 12 jam perhari,silahkan saja, perusahaan menutup mata.

Pasar kerja fleksibel atau biasa disebut gig akan semakin banyak terjadi. Pemampatan jam kerja terpaksa menjadi pilihan pekerja sehingga sangat berisiko terhadap Kesehatan mental atau jiwanya. Ego strength setiap pekerja tidak sama, perlu kesiapan mental untuk menghadapi semua itu. Bagi pekerja yang memang "gila" kerja, pasar sistem gig atau sistem kerja fleksibel sangat menarik. Karena setelah memampatkan hari kerjanya, dia dapat mencari pekerjaan dari perusahaan lain untuk mendapat penghasilan yang berlipat.

Pekerja dalam gig economy tidak terikat dengan kontrak permanen dan tidak bekerja secara konvensional. Misalnya, seorang karyawan dapat bekerja 30 jam selama empat hari, sehingga menghasilkan empat hari kerja seminggu dengan akhir pekan yang lebih panjang. Pekerjaan fleksibel memungkinkan orang untuk memfokuskan satu hari tambahan pada hobi, minat, keluarga, atau bisa cari job lagi untuk melipatgandakan penghasilan.

Dengan cara ini, secara bersamaan meningkatkan risiko kesehatan mental. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan terjadinya burnout, yakni kondisi kelelahan fisik dan emosional yang disebabkan oleh stres jangka panjang. Meskipun tidak diklasifikasikan sebagai kondisi medis itu sendiri, stres akibat kerja ini menyebabkan depresi, kecemasan, dan memburuknya kondisi kesehatan mental lainnya seperti keinginan bunuh diri, bersama dengan kondisi fisik seperti radang sendi. Depresi dan kecemasan saja menyebabkan 12,8 juta hari kerja hilang dalam setahun.

Di Indonesia, konsep pasar kerja fleksibel mulai digagas pada tahun 2003 ketika Bappenas mengeluarkan kertas kebijakan berjudul White Paper on Employment Friendly Labour Policy dengan dukungan Bank Dunia, IMF, dan CGI. Di tingkat internasional, upaya untuk meningkatkan fleksibilitas pasar kerja muncul lewat kesepakatan institusional, kertas kebijakan, dan berbagai indikator untuk pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Upaya organisasi pekerja untuk menentang rezim fleksibilitas pernah terjadi di tingkat nasional pada akhir 2005, ketika serikat mulai berkampanye melawan rencana pemerintah untuk lebih mendorong fleksibilitas dengan rencana revisi UU Nomor 13 Tahun 2003. Ratusan ribu buruh dari berbagai serikat melakukan aksi demonstrasi secara total hingga pagar DPR runtuh, hal itu untuk menolak rencana revisi tersebut.

Demonstrasi besar ini akhirnya efektif, pemerintah kemudian menyatakan bahwa naskah revisi ditarik dan akan mengulang proses revisi dari awal. Presiden terpilih Prabowo Subianto sebaiknya mendengar lebih komprehensif si empunya produktivitas dan kompetensi nasional yang tiada lain adalah para pekerja. Selama ini paparan tentang masalah dan solusi ketenagakerjaan, serta masalah pandangan organisasi pekerja terhadap dampak terkini UU Cipta Kerja belum sampai ke telinga presiden terpilih secara utuh.

Fenomena gig economy yang kini menjadi tren ketenagakerjaan di banyak negara termasuk Indonesia. Dalam fenomena ini, perusahaan cenderung memilih untuk merekrut pekerja lepas atau independen, daripada karyawan tetap.

Sangat disayangkan di Indonesia, masih terjadi kekosongan hukum terkait ekonomi gig. Padahal pekerjaan dengan model ini niscaya terus berkembang dan jumlahnya cepat berlipat ganda. Alasan pemerintah saat ini terkait pekerja platform telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 terasa sumir. Aturan itu mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di pasal itu, PKWT dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja harian. Perjanjian ini diteken dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.

Jika bekerja bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut, hubungan kerja harian menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berubah berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). "Pengusaha wajib memenuhi hak-hak pekerja termasuk hak atas program jaminan sosial," bunyi pasal itu. Namun, jika dikaji lebih mendalam peraturan pemerintah tersebut masih banyak kekurangan dan tidak sesuai dengan kondisi pekerja platform. Seperti misalnya pekerja angkutan online yang terus bergolak hingga saat ini.

Organisasi pekerja/buruh mesti bersiap menghadapi gig economy yang kini telah diperparah dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja. Zaman terus bergerak. Organisasi pekerja segera memasuki pertempuran baru melawan rezim fleksibilitas. Apalagi setelah pemberlakuan UU Cipta Kerja, pengusaha cenderung berusaha untuk "mereset" ketenagakerjaan. Termasuk juga tatanan serikat pekerja/buruh yang berusaha dipinggirkan.

Dalam tingkat pabrik, hal ini semakin digencarkan, misalnya lewat kerjasama pemodal dan pemasok tenaga kerja. Buruh kontrak dipekerjakan lewat agen penyalur tenaga kerja secara daring lewat aplikasi atau platform. Akibatnya kewajiban perusahaan menjadi berkurang untuk memenuhi hak normatif buruh.

Bisa jadi nantinya buruh punya dua majikan, dan sangat rentan mengalami eksploitasi dari kedua pihak (misalnya, sudah dapat upah rendah, tapi masih harus dipotong upahnya oleh agen penyalur). PHK sepihak, mempekerjakan buruh kontrak dalam sektor yang selama ini tidak boleh mempekerjakan buruh kontrak, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya jadi lebih mudah dilakukan. (AM)-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun