Gig Economy menjadi paradigma kerja berbasis digital di berbagai dunia di bawah pengaruh globalisasi dan digitalisasi. Gig Economy menjadi nyata dari bisnis digital yang menggambarkan bagaimana teknologi informasi (TI) mampu mengubah skema kerja untuk seluruh dunia. Gig Economy tidak membutuhkan pendidikan formal untuk berpartisipasi tetapi lebih mengutamakan aspek kompetensi dan minat pekerja gig.
Gig Economy dikelompokkan menjadi dua kategori utama yaitu: fisik dan digital. Gig economy fisik memerlukan platform dalam mengawali penawaran dan pembayaran proyek, sementara produk atau layanan akan dikirimkan langsung secara tatap muka.
Gig economy digital menyebutnya sebagai gig economy online, memfasilitasi seluruh transaksi dengan platform sebagai media atau lingkungan virtual. Ada tiga transformasi besar yang mempengaruhi ekonomi pertunjukan online, diantaranya: dari lokal ke jarak jauh, dari penuh waktu menjadi fleksibel sementara, dan dari permanen menjadi kasual.
Perkembangan gig economy di Indonesia sangat ditentukan oleh etos kerja dan keuletan angkatan kerja. Gig economy bisa menimbulkan gejolak sosial jika penyedia platform digital hanya mengeksploitasi tenaga dan pikiran pekerja gig.
Kasus pekerja ojol yang terus melakukan aksi unjuk rasa di berbagai kota untuk menuntut pemilik platform agar bersikap adil dalam hal bagi hasil usaha merupakan salah satu indikasi buruk keberlangsungan gig economy.
Pada gilirannya kasus sengketa ojol dengan pemilik platform digital akan menjadi konflik ketenagakerjaan yang dahsyat jika pemerintah gagal mencari solusi jalan tengah.
Konsep Gig Economy salah satunya pada fleksibilitas jam kerja bagi para pekerja. Gig economy tidak mengenal konsep jam kerja, namun dengan adanya freelancer menjadi bebas dalam bekerja kapan saja. Tetapi dengan adanya kebebasan ini juga mengakibatkan pekerja terdesak untuk bekerja selama mungkin agar memperoleh pendapatan yang cukup.
Kini banyak anak muda yang menekuni digital freelancer marketplace memiliki peran dalam perkembangan Gig Economy worker. hal ini didasarkan pada semakin meningkatnya jumlah pelaku gig economy worker yang melakukan pekerjaan sebagai digital freelancer marketplace.
Sosial media memiliki peran penting dalam gig economy karena didasarkan pada jumlah penggiat media sosial yang memiliki penghasilan dengan perkembangan yang signifikan. Media sosial berguna sebagai media yang menghasilkan pendapatan sehingga tidak terbatas pada alat sosial saja namun bisa membawa kegunaan bagi pelaku Gig Economy yang menjadikan media sosial sebagai penghasil uang seperti promosi, membuat artikel, video.
Gig economy sebenarnya sudah digagas sejak lama, hadirnya inovasi platform digital mengakselerasi pertumbuhan gig economy dan terus merambah berbagai sektor ketenagakerjaan lalu menjungkir balikkan peraturan ketenagakerjaan yang telah ada. Gig economy merupakan hasrat liar rezim fleksibilitas ketenagakerjaan.
Ironis, menghadapi fenomena gig economy pemerintah menutup telinga dan menghibur diri bahwa jumlah gig worker di negeri ini tidak banyak, dan sudah diatur dalam peraturan. Besaran persentase pekerja gig di Indonesia berdasarkan penelitian kami tidak jauh berbeda dengan estimasi pekerja gig penuh waktu di AS, Eropa, dan Inggris yang berkisar di antara 0,5-5 persen dari angkatan kerja. Namun jumlah ini diprediksi jumlahnya akan cepat meningkat jika semakin banyak perusahaan yang telah memakai platform.