Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tekuni Gig Economy, Bisakah Jadi Gantungan Hidup?

21 September 2024   17:22 Diperbarui: 22 September 2024   17:36 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gig economy Prakerja (Dok Humas Prakerja/via KOMPAS.com)

Catatan  Arif Minardi 

Pernyataan Presiden Joko Widodo saat pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII menyoroti fenomena gig economy. Apakah dengan menekuni gig economy bisa menjadi gantungan hidup dan solusi ketenagakerjaan? Atau justru menyebabkan angkatan kerja menjadi frustasi? Dalam model ini, banyak perusahaan cenderung memilih untuk merekrut pekerja lepas atau independen, daripada karyawan tetap yang sistem rekrutmennya sarat aturan.

Karena krisis ekonomi yang terus terjadi dan ketidakberdayaan negara dalam menciptakan lapangan kerja, maka kerja serabutan dalam kondisi lapangan kerja formal yang amat langka merupakan solusi bagi generasi Z dan Milenial.

Kerja serabutan alias kerja independen yang bisa sifatnya fleksibel dari segi waktu maupun dari sisi aturan ketenagakerjaan bisa menjadi gantungan hidup seseorang jika ditekuni secara ulet, berbasis literasi dan kompetensi serta dijalani dengan penuh disiplin. Tidak ada rumus menyerah jika menjadi gig worker. Jika yang bersangkutan tidak disiplin, maka hasilnya akan jeblok.

Jenis pekerjaan serabutan atau paruh waktu itu semakin meluas dengan adanya platform digital. Singapura adalah negara yang cepat merespon gig economy dengan cara telah mengesahkan undang-undang yang mengatur tentang pekerja platform.

Regulasi ini menetapkan pekerja platform sebagai kategori hukum yang berbeda dengan karyawan dan wiraswasta. Kelompok ini juga akan mendapatkan insentif yang lebih besar dalam skema jaminan sosial hingga mendapatkan hak tabungan Dana Provident Pusat (CPF), yang tentunya disesuaikan dengan iuran karyawan dan pemberi kerja.

Gen Z adalah mereka yang lahir antara 1997 dan 2012, kini semakin banyak yang menerjuni pusaran pekerjaan ekonomi gig, baik penuh waktu maupun paruh waktu.

Fenomena ini didorong oleh tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z. Di era transformasi digital, dengan ekonomi digital yang ditunjang internet, maka jarak antara pemberi dan penerima kerja tak lagi jadi batasan, tren gig economy terus berkembang. Pilihan Generasi Z dan Milenial sebagai pekerja lepas di era gig economy tentu saja tidak salah. Menjadi 'gig economy workers' pun sesuai dengan karakter anak muda sekarang yang punya keinginan untuk memiliki pendapatan dari berbagai sumber.

Gig economy adalah terminologi yang mencerminkan perubahan terkini di pasar tenaga kerja global dan respons terhadap pekerjaan penuh waktu.

Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan global gig economy adalah kemajuan teknologi yang secara konstan memfasilitasi dan meningkatkan metode adaptasi dan inklusi di pasar tenaga kerja.

Gig Economy menjadi paradigma kerja berbasis digital di berbagai dunia di bawah pengaruh globalisasi dan digitalisasi. Gig Economy menjadi nyata dari bisnis digital yang menggambarkan bagaimana teknologi informasi (TI) mampu mengubah skema kerja untuk seluruh dunia. Gig Economy tidak membutuhkan pendidikan formal untuk berpartisipasi tetapi lebih mengutamakan aspek kompetensi dan minat pekerja gig.

Gig Economy dikelompokkan menjadi dua kategori utama yaitu: fisik dan digital. Gig economy fisik memerlukan platform dalam mengawali penawaran dan pembayaran proyek, sementara produk atau layanan akan dikirimkan langsung secara tatap muka.

Gig economy digital menyebutnya sebagai gig economy online, memfasilitasi seluruh transaksi dengan platform sebagai media atau lingkungan virtual. Ada tiga transformasi besar yang mempengaruhi ekonomi pertunjukan online, diantaranya: dari lokal ke jarak jauh, dari penuh waktu menjadi fleksibel sementara, dan dari permanen menjadi kasual.

Perkembangan gig economy di Indonesia sangat ditentukan oleh etos kerja dan keuletan angkatan kerja. Gig economy bisa menimbulkan gejolak sosial jika penyedia platform digital hanya mengeksploitasi tenaga dan pikiran pekerja gig.

Kasus pekerja ojol yang terus melakukan aksi unjuk rasa di berbagai kota untuk menuntut pemilik platform agar bersikap adil dalam hal bagi hasil usaha merupakan salah satu indikasi buruk keberlangsungan gig economy.

Pada gilirannya kasus sengketa ojol dengan pemilik platform digital akan menjadi konflik ketenagakerjaan yang dahsyat jika pemerintah gagal mencari solusi jalan tengah.

Konsep Gig Economy salah satunya pada fleksibilitas jam kerja bagi para pekerja. Gig economy tidak mengenal konsep jam kerja, namun dengan adanya freelancer menjadi bebas dalam bekerja kapan saja. Tetapi dengan adanya kebebasan ini juga mengakibatkan pekerja terdesak untuk bekerja selama mungkin agar memperoleh pendapatan yang cukup.

Kini banyak anak muda yang menekuni digital freelancer marketplace memiliki peran dalam perkembangan Gig Economy worker. hal ini didasarkan pada semakin meningkatnya jumlah pelaku gig economy worker yang melakukan pekerjaan sebagai digital freelancer marketplace.

Sosial media memiliki peran penting dalam gig economy karena didasarkan pada jumlah penggiat media sosial yang memiliki penghasilan dengan perkembangan yang signifikan. Media sosial berguna sebagai media yang menghasilkan pendapatan sehingga tidak terbatas pada alat sosial saja namun bisa membawa kegunaan bagi pelaku Gig Economy yang menjadikan media sosial sebagai penghasil uang seperti promosi, membuat artikel, video.

Gig economy sebenarnya sudah digagas sejak lama, hadirnya inovasi platform digital mengakselerasi pertumbuhan gig economy dan terus merambah berbagai sektor ketenagakerjaan lalu menjungkir balikkan peraturan ketenagakerjaan yang telah ada. Gig economy merupakan hasrat liar rezim fleksibilitas ketenagakerjaan.

Ironis, menghadapi fenomena gig economy pemerintah menutup telinga dan menghibur diri bahwa jumlah gig worker di negeri ini tidak banyak, dan sudah diatur dalam peraturan. Besaran persentase pekerja gig di Indonesia berdasarkan penelitian kami tidak jauh berbeda dengan estimasi pekerja gig penuh waktu di AS, Eropa, dan Inggris yang berkisar di antara 0,5-5 persen dari angkatan kerja. Namun jumlah ini diprediksi jumlahnya akan cepat meningkat jika semakin banyak perusahaan yang telah memakai platform.

Di negara maju, sudah dibuat undang-undang terkait gig, sedang pemerintah Indonesia pasrah saja menghadapi fenomena tersebut. Implikasi di Inggris terkait gig, platform tidak bisa lagi mengkategorikan orang yang bekerja di platformnya sebagai mitra. Pekerja gig kini diklasifikasikan sebagai pekerja yang punya hak upah minimum, hak istirahat, dan jaminan pensiun. Begitupun Uni Eropa kini sedang dalam proses membuat aturan yang komprehensif dan protektif tentang platform work. Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak sosial orang yang bekerja dalam ekonomi gig di Uni Eropa.

Sangat disayangkan di Indonesia, masih terjadi kekosongan hukum terkait ekonomi gig. Padahal pekerjaan dengan model ini niscaya terus berkembang dan jumlahnya cepat berlipat ganda. (AM)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun