Catatan Arif Minardi *)
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sungguh, PP ini memberatkan para pekerja pada saat ini yang kondisinya ibarat sedang jatuh tertimpa tangga.
Pada awal kekuasaan periode pertama Presiden Jokowi berjanji mewujudkan Program Sejuta Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya untuk kaum pekerja atau buruh. Ternyata janji itu sulit terwujud dan program yang tidak optimal. Dan pada akhir masa jabatannya periode kedua, Jokowi justru memberikan kado pahit untuk pekerja berupa potongan gaji buruh untuk mendukung program tabungan perumahan rakyat atau Tapera.
Perlu dicatat bahwa potongan gaji buruh hasil memeras keringat dan membanting tulang itu ditujukan kepada seluruh pekerja, termasuk pekerja mandiri atau bukan penerima upah. Ironisnya modal awal dari pemerintah hingga triliunan untuk modal awal badan penyelenggara Tapera hingga kini belum terlihat signifikan hasilnya. Nampaknya badan ini menunggu kucuran keringat buruh dulu, baru kemudian bergerak.
Program kerja badan Tapera juga tidak jelas. Mestinya harus transparan dan bisa memberi gambaran kapan buruh bisa menerima rumah, atau buruh terpaksa gigit jari terus menunggu realisasi rumah yang tak kunjung datang. Kondisi buruh yang kini mudah di PHK dan terpaksa berganti-ganti perusahaan semakin menyulitkan buruh menggapai rumah lewat Tapera.
Hingga kini publik masih dibuat bingung terkait dengan ketidak jelasan program Tapera. Padahal pemerintah telah mengalokasikan Rp 2,5 triliun sebagai modal awal program Tapera dalam APBN tahun 2018. Suntikan modal ini dikucurkan untuk Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Pembentukan BP Tapera merupakan salah satu amanat Undang-undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Perlu sinkronisasi antara UU Tapera dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Januari 2011 tentang Perumahan dan Kawasan. Yakni terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Tak bisa dimungkiri, sistem pembiayaan perumahan membutuhkan mekanisme pengerahan dana masyarakat secara berkesinambungan yang dimanfaatkan khusus untuk perumahan. Namun begitu pemerintah mesti menyiapkan anggaran dari APBN secara kontinu dan besarnya mencukupi untuk membangun rumah pekerja dalam jumlah besar. Jangan hanya pembangunan rumah percontohan hanya sekedar untuk seremonial pejabat negara.
Masih hangat dalam ingatan buruh terkait program pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan membangun 10.000 unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang diperuntukkan bagi pekerja dan dibangun di 14 provinsi. Namun realisasinya masih jauh panggang dari api. Penulis masih ingat, janji Jokowi terkait rencana pembangunan rumah tersebut akan dimulai saat Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2015. Biaya pembangunannya diambil dari APBN. Namun janji tinggal janji, program diatas tidak optimal, baik jumlah maupun sebarannya.
Sempat terjadi groundbreaking yang dilakukan Presiden Jokowi di Ungaran Jawa Tengah. Unit rusunawa pekerja ini merupakan bagian dari janji program pembangunan "Sejuta Rumah" yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).