Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ramadhan, Saatnya Jihad Produktivitas

4 Maret 2024   11:15 Diperbarui: 6 Maret 2024   15:53 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja menunaikan shalat Isya dan Tarawih di kedalaman 1.700 meter (Dok. Humas Inalum via KOMPAS.com)

Catatan  Arif Minardi   *)

Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk menggenjot produktivitas nasional. Setiap tahun kita optimis bahwa ibadah bulan suci Ramadhan dan perhelatan akbar mudik lebaran merupakan penggerak ekonomi nasional. Terutama sektor pariwisata, ekonomi kreatif dan transportasi. 

Alangkah luar biasa kumandang dan gairah Ramadhan dan perhelatan akbar selalu ditandai dengan detak ekonomi yang kencang, kegiatan amal yang luar biasa serta perpindahan ratusan juta massa dan ratusan triliun rupiah dana segar dari kota menuju perdesaan.

Nuansa yang mendominasi wajah yang menjalankan ibadah Ramadhan adalah keceriaan dan kegembiraan yang menyimpan sejuta rindu kepada kampung halaman rohaninya. 

Saatnya mentransformasikan nilai bulan Ramadhan dan spirit Idul Fitri yang tergambar dalam gelombang besar mudik lebaran menjadi generator produktivitas yang hebat. Tingkat produktivitas bangsa yang hingga kini masih belum menggembirakan adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa. 

Oleh sebab itu jihad produktivitas sangat relevan untuk dijalankan. Kaum Muslimin di negeri ini sebaiknya mulai mengkaji berbagai ajaran keagamaan yang bisa menimbulkan qiroah atau greget untuk memacu usaha dan produktivitas.

Ibadah Ramadhan telah menggembleng setiap Muslim agar meraih kemenangan dengan terlahir kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan kuat. Usai sebulan penuh berpuasa, kaum beriman diharapkan dapat terlahir kembali dengan fitrah kemanusiaan yang suci, bersih dari dosa, dan mendapat kekuatan baru. Pasalnya, ibadah-ibadah Ramadhan mengandung dua arti, yaitu tazkiyatun nafs yakni penyucian jiwa dan tarbiyatun nafs yakni penguatan diri.

Mentalitas Kerja Keras

Kemajuan bangsa hanya bisa terwujud dengan mentalitas kerja keras dan terus menerus berpikir cerdas. Kita prihatin melihat kajian Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan Indeks Kualitas Pekerjaan (IKP) masih rendah. Dan pada saat pandemi hingga saat ini justru mengalami penurunan dibanding sebelum pandemi.

Terdapat penurunan IKP Indonesia hingga 20,7 persen. Selain itu, ada ketimpangan capaian IKP. Indeks tertinggi berasal dari DKI Jakarta sementara terendah terjadi di Sulawesi Barat. Sebagai informasi, dimensi kualitas pekerjaan menggambarkan pekerjaan yang layak. Salah satu pendekatannya dilihat dari sisi penggunaan waktu bekerja dengan kondisi jam kerja yang tidak berlebih.

Ibadah puasa dan perhelatan mudik sebetulnya merupakan eksponen-eksponen kecil dari sebuah kolektivitas. Dari kolektivitas kampung, desa, kota, pulau, provinsi hingga menjadi sebuah kolektivitas kebangsaan. Semua bergerak menuju fitrah yang sama, yakni harkat kemanusiaan dan keadilan sosial. Dalam predikat sosial yang sangat beragam, dari kaum buruh, pedagang, aparatur negara, guru, hingga pejabat pemerintah, semuanya ingin maju dan hidup mulia.

Rasa kolektivitas kebangsaan bisa menghasilkan sinergi yang hebat jika terkait dengan daya saing dan produktivitas. Nilai-nilai Ramadhan, Idul Fitri dan mudik lebaran dalam aspek kebudayaan bisa memperteguh kebudayaan nasional. 

Apalagi strategi kebudayaan menjadi kunci dalam program pembangunan. Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Latin culture atau colere yang berarti mengolah atau merekayasa. Kebudayaan tidak sekedar seni tradisi. Lebih dari itu, kebudayaan bisa menggenjot produktivitas dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Serta membentuk sikap positif masyarakat yang selalu berusaha untuk maju atau sikap need of achievement.

Memperluas Lapangan Kerja

Keniscayaan, jihad produktivitas bisa memperluas lapangan kerja. Hal itu sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia. Menghadapi persaingan global tak ada kata lain yang lebih penting, selain memperbaiki secara totalitas produktivitas dan nilai tambah lokal oleh rakyat.

Untuk kedepan, alokasi anggaran untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus tepat sasaran dan menekankan peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia. 

Menurut Institute for Development and Economic Finance (Indef), peran SDM sangat penting bagi perekonomian sebuah negara dan salah satu input penting bagi pembangunan industri yang berdaya saing. Hingga kini institusi pendidikan/pelatihan belum mampu menjawab tantangan meningkatkan produktivitas dan kualitas tenaga kerja. 

Selain itu, gap antara kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja masih lebar, sehingga terjadi mismatch antara institusi pendidikan dan dunia kerja. Kemudian, di era baru ekonomi yang warnai disrupsi teknologi mengubah karakteristik permintaan tenaga kerja.

Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga. Jika melihat mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, hampir 60 persen tepatnya 58,78 persen pekerja di Indonesia masih tamatan pendidikan rendah yaitu, SMP ke bawah. Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing.

Sementara itu, industrialisasi dan digitalisasi tentunya memerlukan tingkat keahlian dan produktivitas yang lebih baik. Jika industrialisasi tidak disokong dengan kualitas SDM yang memadai maka proses transformasi struktural bisa gagal. Hakikat produktivitas ketenagakerjaan adalah tingkat kemampuan pekerja menghasilkan produk dan jasa. 

Berbagai faktor mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, termasuk juga faktor kesejahteraan sosial pekerja. Serikat pekerja atau serikat buruh merupakan kunci produktivitas, untuk itu diharapkan berperan mengikuti perkembangan global reverse innovation. Karena kegiatan inovasi dunia itu menyangkut penemuan proses produksi baru yang bisa menggenjot produktivitas sekaligus berpotensi memperluas lapangan kerja karena berbasis inovasi dan teknologi tepat guna.

Semoga kolektivitas kebangsaan yang tergambar oleh semarak Ramadhan dan dahsyatnya arus mudik lebaran bisa menghasilkan sinergi yang hebat dan bisa mendongkrak daya saing dan produktivitas. 

Faktor non teknis untuk menggenjot produktivitas bangsa adalah mengartikulasikan tri-ukhuwah kebangsaan yang lahir dari nilai keislaman. Yakni mengembangkan sikap persaudaraan bukan hanya dengan sesama kaum Muslimin yakni ukhuwah Islamiyah, melainkan juga dengan sesama warga bangsa yang lain yakni ukhuwah wathoniyah ) serta dengan warga dunia manapun tanpa diskriminatif yakni ukhuwah basyariyah. Tri-ukhuwah tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan seluruh elemen bangsa dalam menghadapi persaingan global yang semakin sengit.

Spirit Ramadhan harus bisa mentransformasikan mentalitas bangsa dan ranah psikososial, alam kehidupan para buruh dan birokrat di negeri ini setelah Idul Fitri harus lebih mencintai pekerjaan atau tidak boleh mengeluh setiap hari. Banyak pihak yang setuju bahwa pekerja dan birokrat di Indonesia hingga kini sebagian besar belum mencintai pekerjaanya setulus hati alias memiliki integritas yang masih rendah.

Spirit Ramadhan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang kekurangan jumlah wirausahawan. Bulan Ramadhan telah membuka banyak lapangan berusaha dan mendorong warga untuk mencetak bermacam produk dan jasa. Bulan Puasa menanamkan budaya berwirausaha di kalangan warga bangsa untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain.

Makna terbesar yang bisa diambil hikmahnya selama Ramadhan adalah perlu lompatan hebat dalam menghadapi persoalan ketenagakerjaan. Untuk kedepan bangsa ini harus mampu merumuskan haluan negara serta mampu berperan dalam hal politik anggaran yang betul-betul prorakyat.

Ramadhan kali ini mesti bisa menyadarkan segenap organisasi buruh harus memiliki langkah-langkah besar, cerdas dan inovatif. Buruh bukan identik lagi dengan sosok proletariat yang mengedepankan otot dan dengkul. Saatnya buruh mengasah akal budi dan kecerdasannya, sehingga tercipta nilai tambah (added values) yang tinggi pada diri dan organisasinya. 

Melihat kondisi APBN dari tahun ketahun, buruh memandang perlu revolusi fiskal agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul bisa menjadi alat yang efektif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Revolusi fiskal terkait dengan tiga aspek, yakni revolusi penerimaan negara, alokasi dan efisiensi belanja secara ketat, serta manajemen pengelolaan APBN yang anti bocor.

*) Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin ( FSP LEM SPSI, )Sekjen KSPSI, Anggota Tripartit LKS Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun