Transformasi Pengelolaan SDA
Revolusi penerimaan negara mesti diawali dengan transformasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di negeri ini. Masalah laten terkait dengan SDA khususnya energi tergambar dalam buku “Paradox of plenty” hasil karya Terry Lynn Karl. Buku itu pada intinya memperlihatkan kepada kita fenomena tentang bangsa yang memiliki SDA melimpah, seperti minyak, gas, dan minerba tetapi kondisinya sangat mengenaskan seperti ayam mati di lumbung padi. Selama ini kekayaan SDA negeri ini telah terampas oleh pihak asing dengan sistem kontrak bagi hasil yang sangat tidak adil serta tidak transparan alias penuh muslihat. Sehingga kekayaan SDA yang melimpah tadi tidak bisa digunakan semaksimal mungkin untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Selama ini kontraktor nasional dan asing melakukan pengerukan SDA secara besar-besaran tanpa menimbulkan proses nilai tambah yang signifikan. Karena hanya dilakukan sebatas mengekspor bahan mentah namun minim proses pengolahan.
Belum ada strategi yang jitu untuk mengatasi fenomena natural resource curse. Yakni munculnya paradoks yang dihadapi suatu negara yang memiliki SDA yang luar biasa. Ironisnya, dari segi tingkat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas pembangunan, negara tersebut justru cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki SDA.
Perlu kesadaran nasional bahwa bangsa ini belum memiliki sistem neraca SDA yang baik untuk mengekploitasi SDA baik berskala nasional maupun lokal. Padahal dengan adanya sistem neraca SDA yang canggih dan akurat, bisa dilakukan valuasi ekonomi total untuk kepentingan rakyat.
Perlu sistem neraca SDA spasial, yakni perangkat atau aplikasi digital untuk menghitung ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam satu entitas geografis tertentu untuk mengetahui kondisi yang terkini. Sistem tersebut sangat berguna untuk penyusunan kebijakan pembangunan lintas sektoral.
Dari kacamata disiplin ilmu, sistem neraca SDA spasial merupakan pendekatan yang bersifat analisis kualitatif dan kuantitatif tentang potensi SDA. Sistem tersebut sebaiknya bersifat spasial dan gampang diakses publik. Sehingga ada transparansi publik, misalnya terkait dengan usaha pertambangan.
Hilirisasi Semu
Untuk usaha pertambangan misalnya, perlu dibuat peta kondisi fisik sumber daya terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar usaha pertambangan. Perekaman kondisi SDA dan nilai ekonomi dalam bentuk peta digital bisa memecahkan persoalan secara kredibel dan independen. Juga sangat berguna untuk audit lingkungan dan bisa dijadikan referensi jika terjadi sengketa bagi hasil lintas daerah atau sengketa dengan masyarakat sekitar.
Pemerintahan Jokowi hingga saat ini terlalu sering menggembar-gemborkan program hilirisasi, namun menurut hemat saya itu masih semu. Karena hingga kini pemerintah belum memiliki sistem informasi dan data yang komprehensif dan akurat mengenai letak dan jumlah kandungan SDA pertambangan secara detail. Hal itu menyebabkan perusahaan pertambangan cenderung berlaku curang, dalam arti menekan harga sewa atau bagi hasil tambang sekecil-kecilnya. Kondisinya juga bisa sebaliknya, yakni dengan menaikan nilai tambang melebihi nilai yang sebenarnya untuk mengelabuhi.
Selain itu kesalahan besar terkait dengan usaha pertambangan adalah kurangnya pengawasan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi. Sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik, serta adanya kolusi menyebabkan ekploitasi SDA secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan menyebabkan kesejahteraan masyarakat sekitar merosot. Juga sering terjadi manipulasi teknologi terkait dengan peta lingkungan yang tidak sesuai dengan skala yang semestinya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!