Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merombak Fiskal agar Fakir Miskin Hidup Layak

17 Januari 2024   09:42 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:09 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Bagian pertama dari 3 tulisan:

Presiden Jokowi memprediksi angka kemiskinan mendekati nol pada tahun 2045, sedangkan menurut penulis yang menjadi bagian tim Paslon AMIN di Pilpres 2024 ada strategi lebih cepat mengatasi kemiskinan. Gerakan perubahan yang diusung oleh AMIN memiliki spirit perombakan fiskal dan APBN untuk menghapus kemiskinan bisa terwujud pada tahun 2029.

Pada tahun 2019 Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa pada tahun 2045 kemiskinan mendekati nol, hal ini berarti Presiden memperkirakan dengan angka kemiskinan yang masih diatas 9 persen dan jika kemiskinan turun rata-rata 0,3 maka dengan mengekstrapolasi data tersebut, kemiskinan akan mendekati nol pada tahun 2045. Benar, apabila Presiden berikutnya juga sama dengan Pak Jokowi, yaitu memberantas kemiskinan dengan cara as usual seperti sekarang ini, tidak ada perubahan metode, tidak ada kreatifitas, dan tidak ada terobosan, artinya Pak Jokowi melecehkan dan meragukan kemampuan Presiden berikutnya.

Capres/Cawapres Anies Rasyid Baswedan /Abdul Muhaimin Iskandar mampu menjadi pembeda dengan presiden sebelumnya, bekerja tidak as usual, punya metode, kreativitas, dan terobosan baru, bahkan jika perlu dengan membuat terobosan yang progresif revolusioner agar kemiskinan ini segera hilang di masa pemerintahan Amin dan tidak perlu menunggu tahun 2045, sesuai visi Amin yaitu "Kemakmuran dan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Menkeu Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Revolusi Fiskal 

Jika kita bedah kebijakan fiskal yang diusung oleh pemerintah pada tahun 2023 yang bertema "Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan", terbukti terseok-seok dalam mengatasi masalah keadilan sosial dan memiliki tantangan berat terkait dengan ketidakpastian ekonomi global. Solusinya dengan berutang untuk proyek yang kurang bersentuhan dengan prinsip keadilan sosial. Strategi fiskal tahun 2023 masih belum berhasil menggenjot produktivitas dan tanpa mitigasi ketenagakerjaan yang berbasis upah yang layak.

Melihat kondisi APBN dari tahun ke tahun sarat ketimpangan, perlu perubahan mendasar atau meminjam istilah aktivis serikat pekerja perlu revolusi fiskal agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul bisa menjadi alat yang efektif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Revolusi fiskal terkait dengan tiga aspek, yakni revolusi penerimaan negara, alokasi dan efisiensi belanja secara ketat, serta manajemen pengelolaan APBN yang anti bocor.

Melihat jurus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023 tampak paradoks. Jurus itu menekankan bahwa peningkatan produktivitas nasional menjadi kunci bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar visi Indonesia dapat tercapai.

Ada dua jurus atau strategi Menkeu Sri Mulyani pada 2023 berdasarkan tema kebijakan fiskal tersebut. Pertama, memfokuskan anggaran untuk penguatan kualitas SDM, akselerasi pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi dan regulasi, revitalisasi industri dan mendorong pembangunan ekonomi hijau.

Kedua, meningkatkan efektivitas transformasi ekonomi didukung dengan reformasi fiskal yang holistik melalui mobilisasi pendapatan untuk pelebaran ruang fiskal, konsistensi penguatan spending better untuk efisiensi dan efektivitas belanja, serta terus mendorong pengembangan pembiayaan yang kreatif dan inovatif.

Ternyata publik menyaksikan bahwa kedua jurus tersebut kurang ampuh karena jurus pertama menunjukkan kualitas SDM belum menggembirakan, pembangunan infrastruktur justru memperlihatkan bahwa pemerintah ibarat "beternak" utang secara besar-besaran, dan kinerja birokrasi juga masih tergolong rendah. Sedangkan reformasi fiskal ala pemerintahan Jokowi kurang darah, sehingga publik menyuarakan pentingnya revolusi fiskal.

Perlu perubahan metode untuk menggenjot produktivitas yang mampu mewujudkan transformasi ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan. Strategi pembangunan ke depan harus mendorong sumber-sumber pertumbuhan baru yang lebih berkualitas dan investasi berwawasan lingkungan. Transformasi ekonomi inklusif jangan hanya jargon, harus mampu memberikan dampak positif, baik terhadap aspek ekonomi, sosial, distribusi pendapatan, maupun lingkungan.

Masih hangat dalam ingatan publik pernyataan Presiden Joko Widodo agar Indonesia bisa menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Mimpi menghapus kemiskinan lalu menjadi sejahtera semesta Nusantara mestinya disertai dengan perubahan konsepsi dan strategi yang autentik keindonesiaan dan mesti sesuai dengan realitas sosial ekonomi saat ini.

Keniscayaan, pentingnya perombnakan dan strategi baru terkait dengan APBN. Kalau perlu ada revolusi pelaksanaan APBN. Tak perlu alergi dengan istilah revolusi, karena menurut Presiden pertama RI Soekarrrno, bahwa "revolusi belum selesai", dan generasi saat ini wajib memperlancar jalannya revolusi tersebut.  Karena tanpa itu mimpi bangsa itu akan kandas. Bahkan mimpi Presiden Jokowi menuju tahun 2045 bisa kandas.  Mimpi Jokowi bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dolar AS dan dengan kondisi seperti itu Indonesia bisa masuk 5 besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen sulit terwujud jika jalannya revolusi fiskal terseok-seok. Penghasilan per kapita 27 juta per bulan mustahil tanpa disertai revolusi fiskal, apalagi dengan berbagai kondisi sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kurang bermutu.

kontradiksi perkampungan kumuh dan gedung bertingkat (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
kontradiksi perkampungan kumuh dan gedung bertingkat (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Mengatrol Produktivitas

Paslon AMIN telah memiliki konsep dan strategi pembangunan yang lebih konkrit dan bisa diterima oleh pikiran rakyat. Menurut teori yang dianut internasional, Indonesia akan menjadi negara maju jika memiliki klasifikasi sebagai negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) dengan pendapatan perkapita 15 ribu dolar AS. Salah satu masalah penting yang selalu menghadang Pemerintahan Jokowi selama dua periode adalah tentang produktivitas bangsa yang masih rendah dibanding dengan bangsa lain. Negara perlu gerakan produktivitas sebagai upaya bersama seluruh rakyat. Melalui pengembangan jejaring kelembagaan yang terstruktur dari tingkat penggerakan, pembinaan dan pelaksanaan.

Paslon AMIN memiliki jurus "slepet" untuk mengatrol produktivitas agar bisa mendorong Kementerian/Lembaga (K/L) menjadi penggerak Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing. Slepet AMIN bisa mengakselerasi tiga teori gerakan produktivitas. Pertama, peningkatan kesadaran, pemahaman dan komitmen para pemangku kepentingan akan arti pentingnya peningkatan produktivitas dan daya saing nasional.

Kedua, peningkatan kapabilitas dalam perancangan dan pelaksanaan program peningkatan produktivitas dan daya saing nasional. Ketiga, pengukuran, pemeliharaan dan pelembagaan keberhasilan serta pengembangan program peningkatan produktivitas dan daya saing nasional.

Hingga kini, dibandingkan dengan negara lain, produktivitas tenaga kerja di Tanah Air masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organization (APO) atau Organisasi Produktivitas Asia. Tiada agenda bangsa yang lebih penting selain menggenjot produktivitas tenaga kerja, jika ingin mewujudkan bangsa yang sejahtera.

Dalam situasi penyelenggaraan negara yang kurang efektif dan disana-sini masih terlihat boros . Dibutuhkan rezim fiskal yang pro-rakyat dan sekaligus mampu menciptakan inteligensi keuangan negara. Pro-rakyat dalam arti memiliki mazhab yang kuat dalam hal pembagian kue pembangunan yang berbasis keadilan sosial.

Hal itu tercermin dalam politik anggaran nasional dan daerah. Selama ini proses penyusunan anggaran kurang menyerap aspirasi rakyat luas. Akibatnya, postur anggaran belum menampakan harapan baru dari sisi kepentingan rakyat luas. Bahkan mencuatkan berbagai kekhawatiran sehubungan dengan lemahnya elemen pengendalian dan pengawasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun