Kedua, meningkatkan efektivitas transformasi ekonomi didukung dengan reformasi fiskal yang holistik melalui mobilisasi pendapatan untuk pelebaran ruang fiskal, konsistensi penguatan spending better untuk efisiensi dan efektivitas belanja, serta terus mendorong pengembangan pembiayaan yang kreatif dan inovatif.
Ternyata publik menyaksikan bahwa kedua jurus tersebut kurang ampuh karena jurus pertama menunjukkan kualitas SDM belum menggembirakan, pembangunan infrastruktur justru memperlihatkan bahwa pemerintah ibarat "beternak" utang secara besar-besaran, dan kinerja birokrasi juga masih tergolong rendah. Sedangkan reformasi fiskal ala pemerintahan Jokowi kurang darah, sehingga publik menyuarakan pentingnya revolusi fiskal.
Perlu perubahan metode untuk menggenjot produktivitas yang mampu mewujudkan transformasi ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan. Strategi pembangunan ke depan harus mendorong sumber-sumber pertumbuhan baru yang lebih berkualitas dan investasi berwawasan lingkungan. Transformasi ekonomi inklusif jangan hanya jargon, harus mampu memberikan dampak positif, baik terhadap aspek ekonomi, sosial, distribusi pendapatan, maupun lingkungan.
Masih hangat dalam ingatan publik pernyataan Presiden Joko Widodo agar Indonesia bisa menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Mimpi menghapus kemiskinan lalu menjadi sejahtera semesta Nusantara mestinya disertai dengan perubahan konsepsi dan strategi yang autentik keindonesiaan dan mesti sesuai dengan realitas sosial ekonomi saat ini.
Keniscayaan, pentingnya perombnakan dan strategi baru terkait dengan APBN. Kalau perlu ada revolusi pelaksanaan APBN. Tak perlu alergi dengan istilah revolusi, karena menurut Presiden pertama RI Soekarrrno, bahwa "revolusi belum selesai", dan generasi saat ini wajib memperlancar jalannya revolusi tersebut. Â Karena tanpa itu mimpi bangsa itu akan kandas. Bahkan mimpi Presiden Jokowi menuju tahun 2045 bisa kandas. Â Mimpi Jokowi bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dolar AS dan dengan kondisi seperti itu Indonesia bisa masuk 5 besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen sulit terwujud jika jalannya revolusi fiskal terseok-seok. Penghasilan per kapita 27 juta per bulan mustahil tanpa disertai revolusi fiskal, apalagi dengan berbagai kondisi sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kurang bermutu.
Mengatrol Produktivitas
Paslon AMIN telah memiliki konsep dan strategi pembangunan yang lebih konkrit dan bisa diterima oleh pikiran rakyat. Menurut teori yang dianut internasional, Indonesia akan menjadi negara maju jika memiliki klasifikasi sebagai negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) dengan pendapatan perkapita 15 ribu dolar AS. Salah satu masalah penting yang selalu menghadang Pemerintahan Jokowi selama dua periode adalah tentang produktivitas bangsa yang masih rendah dibanding dengan bangsa lain. Negara perlu gerakan produktivitas sebagai upaya bersama seluruh rakyat. Melalui pengembangan jejaring kelembagaan yang terstruktur dari tingkat penggerakan, pembinaan dan pelaksanaan.
Paslon AMIN memiliki jurus "slepet" untuk mengatrol produktivitas agar bisa mendorong Kementerian/Lembaga (K/L) menjadi penggerak Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing. Slepet AMIN bisa mengakselerasi tiga teori gerakan produktivitas. Pertama, peningkatan kesadaran, pemahaman dan komitmen para pemangku kepentingan akan arti pentingnya peningkatan produktivitas dan daya saing nasional.
Kedua, peningkatan kapabilitas dalam perancangan dan pelaksanaan program peningkatan produktivitas dan daya saing nasional. Ketiga, pengukuran, pemeliharaan dan pelembagaan keberhasilan serta pengembangan program peningkatan produktivitas dan daya saing nasional.
Hingga kini, dibandingkan dengan negara lain, produktivitas tenaga kerja di Tanah Air masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organization (APO) atau Organisasi Produktivitas Asia. Tiada agenda bangsa yang lebih penting selain menggenjot produktivitas tenaga kerja, jika ingin mewujudkan bangsa yang sejahtera.