Mohon tunggu...
Arif Meftah Hidayat
Arif Meftah Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Pabrik

Dengan atau tanpa saya menulis, dunia juga tidak akan berubah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memutus Kebencian Antar Suporter yang Mendarah Daging dan Diwariskan

29 September 2018   14:37 Diperbarui: 29 September 2018   14:39 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memutus Kebencian yang Mendarah Daging dan Diwariskan

Akhirnya kekerasan dalam wajah sepak bola Indonesia dianggap sebagai masalah yang serius juga. Dibuktikan dengan diberhentikannya sementara kompetisi tertinggi liga sepak bola Indonesia pasca meninggalnya salah satu suporter sepak bola.

Sebelumnya? Kekerasan dan bahkan yang sampai merenggut korban hanya dianggap kejadian wajar karena memang mengendalikan massa dalam jumlah puluhan ribu adalah hal yang sulit dilakukan. Pertemuan antara pemerintah, PSSI, Klub, Otoritas Olahraga, Pihak Keamanan dan Suporter yang kemudian menghasilkan keputusan penghentian sementara liga Indonesia adalah salah satu progres besar pemecahan salah satu permasalahan persepakbolaan nasional.

Sebuah progress besar yang bisa jadi tidak tepat sasaran ketika tidak dibarengi rumusan dan aturan-aturan pemecahan permasalahan sembari liga dihentikan. Menjadi kurang bijaksana ketika penghentian justru juga mematikan mimpi-mimpi adik adik kita, anak-anak kita yang juga tengah berjuang untuk membawa nama Indonesia ke dunia lewat sepakbola.

Memutus kebencian yang mendarah daging dan diwariskan adalah salah satu solusi pemecahan masalah kekerasan dalam sepak bola. Massa atau kerumunan dalam jumlah besar bukanlah suatu persoalan. Bahkan jika mampu dimanagemen dengan baik, jumlah tersebut adalah potensi besar untuk persatuan.

Dalam Celebration Game antara Persebaya Surabaya melawan PSS Sleman di Gelora Bung Tomo 2017 silam, dua kelompok besar bertemu, berkumpul, dan berbaur memenuhi stadion berkapasitas lebih dari 50.000 penonton tersebut. 

Lima puluh ribuan bonek mania berada dalam stadion bersama dengan enam ribuan Brigata Curva Sud dan Slemania bernyanyi bersama, bergembira bersama, dan damai. Pun dengan banyak sekali hal serupa ketika dua kelompok suporter berbaur bersama dan suasana begitu damai.

Yang menjadi masalah adalah saat massa atau kerumunan tersebut telah memiliki bibit kebencian satu dengan yang lainnya. Yang terkenal tentu saja perseteruan Bonek-Aremania, The Jak-Viking/Bobotoh, Pasoepati/BCS-Brajamusti. Yang sebenarnya mengherankan, perseteruan mereka telah ada begitu lamanya. Begitu lamanya dan seharunya saat ini sudah berganti generasi dari kedua kelompok yang berseteru. Generasi-generasi berumur belasan tahun seharusnya sudah tidak merasakan akibat dari gesekan-gesekan yang terjadi puluhan tahun pula. Tapi faktanya, kebencian itu masih ada. Perseturuan itu masih eksis sampai sekarang.

Kebencian-kebencian itu telah mendarah daging dan terus diwariskan sampai kepada keturunan yang sebenarnya tidak tahu sampai ke akar permasalahan.

Di stadion, di lingkungan perumahan, di media sosial kebencian itu dipupuk dan dikembangkan. Kita semua telah ikut berperan atau setidaknya telah ikut melakukan pembiaran. Kita sebagai suporter, masyarakat biasa, pengurus klub, pemain, pihak keamanan, PSSI dan semua pihak yang berhubungan dengan sepak bola dan suporter tanpa terkecuali.

Saat chants rasis atau ujaran kebencian didengungkan, tidak satupun yang melarang atau mengingatkan. Tidak pihak keamanan pun juga panitia pelaksana. Mungkin hanya bagian audio stasiun televisi yang peka dengan mengecilkan volume rekaman ketika chant-chants semacam itu didengungkan. Akibatnya, anak-anak kecil sampai remaja  yang masih polos dan tidak mengerti apa-apa harus ikut menanggung beban luka dan kebencian di masa lampau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun