Dari sisi proses juga ada semacam disruption di sini. Si kreator, misalnya fotografer, dalam menghasilkan kontennya harus menunggu sunset selama beberapa jam dan menelusuri jalur yang sulit demi mendapatkan foto yang memukau. Berikutnya, fotografer membutuhkan waktu berjam-jam untuk memilih fotonya dan menuliskan captionpaling menarik. Dan begitu fotonya diunggah, si repostman tinggal mengunggah ulang alias repost saja. Semudah itu.
Yang memprihatinkan, kadang-kadang ada sebuah konten yang diunggah oleh si kreator yang di-repostdengan framing berbeda oleh repostman. Misalnya dengan penghilangan caption yang utuh, atau ditambahi dengan ajakan follow dan tag akun si repostman. Bahkan ada juga yang tidak menyertakan sumber konten. Jadi, seolah-olah konten tersebut adalah karya pemilik akun repostman. Praktik seperti ini cukup banyak ditemukan. Dan benefit lebih banyak dirasakan di akun repostman. Â
Sebenarnya setiap platform memiliki aturan mainnya masing-masing, kita bisa menjumpainya saat akan membuat akun atau di panel terms and services. Beberapa platform media sosial teratas seperti facebook, instagram, dan twitter mencantumkan pasal-pasalnya dengan detail di bagian ini. Mereka (platform media sosial) sangat menghormati tentang hak cipta (copyright). Facebook atau instagram misalnya, mereka menerima dan menindaklanjuti aduan ketika ada protes dari content creator ketika karyanya di repost tanpa izin oleh pihak lain. Pasalnya pun jelas; melanggar hak cipta. Pengelola platform kemudian akan me-review dan menindaklanjuti aduan tersebut dengan risiko paling besar berupa suspended account.
Youtube menjadi platform yang relatif menarik bagi content creator. Peraturan baru yang diluncurkan pertengahan tahun ini hanya mengizinkan sebuah konten bisa dimonetisasi ketika viewer sudah mencapai 10.000. Selain itu, hak monetisasi juga akan didapat oleh kreator ketika karyanya dipakai oleh orang lain di Youtube. Jadi, kalau sebuah content (baik berupa visual maupun audio) di-repost sebanyak-banyaknya, pundi-pundi uang juga tetap mengalir pada si kreator.
Aturan mengenai wacana pajak di dunia digital juga menarik ketika dihadapkan pada konteks repostman ini. Pendapatan yang diperoleh melalui jasa promo digital sampai hari ini belum masuk kolom peraturan pajak. Bayangkan jika ada sekian persen yang masuk ke kantong negara, yang kemudian bisa dialirkan untuk membangun sekolah atau puskesmas, peluang usaha ini jadi mulia kan?
Jadi, bagaimana? Apakah Anda tertarik jadi repostman atau content creator?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H