Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebaiknya Menikah Tepat Waktu atau di Waktu yang Tepat?

29 Agustus 2016   23:41 Diperbarui: 30 Agustus 2016   08:22 2086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang wonder woman dan bidadari keluarga (dok. pribadi)

Saya sebelumnya tak pernah membayangkan akan menikah di usia 26 tahun. Umur tersebut adalah masa di mana saya begitu menikmati dunia petualangan. Saat itu saya baru kembali dari Papua, masih hangat-hangatnya. Tanpa berpikir lama, saya menikahi seorang gadis asal Jogja yang setahun lebih muda dari saya. Mumpung dia mau, batin saya. 

Secara usia, 26 tahun memang sudah layak untuk menikah. Tetapi dari sisi kemapanan, saya masih jauh tertinggal. Saat saya menikah, jangankan mapan, saat itu saya sedang tak punya pekerjaan! 

Namun sampai kapan saya masuk kategori mapan? 

Mapan, satu kata ini mungkin menjadi barrier tersendiri bagi muda-mudi yang hendak mengarungi bahtera rumah tangga. Kata yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai mantap (baik, tidak goyah, stabil) kedudukannya (kehidupannya) ini seakan menjadi momok saat setiap lebaran ditanya “kapan?” Mapan sering dikaitkan dengan kemerdekaan finansial. Cerminannya bisa dari kondisi pekerjaan yang nyaman, kepemilikan tempat tinggal atau bahkan kendaraan. 

Selain masalah mapan, saya (dan mungkin kaum bujang lainnya) juga berhadapan dengan tekanan dari keluarga. “Mau nunggu apa lagi, Jang? Kamu sudah selesai kuliah. Umurmu 26 tahun lho! Buruan menikah to, Jang.”, demikian kata Ibu saya, selalu ‘menyemangati’. Bapak saya yang pensiunan Penyuluh Keluarga Berencana pun meyakini bahwa usia saya sudah sangat ideal untuk menikah. 

Tak salah memang apa yang dikatakan Ibu dan Bapak. Saya dan calon istri waktu itu dianggap sudah memasuki umur di mana seseorang mampu bertanggungjawab atas apa yang dikerjakan. Secara fisik, tubuh kami sudah siap. Kemampuan otak dalam menganalisis masalah juga telah terlatih. Serta tak kalah penting, kondisi psikis kami dianggap mampu menghadapi fluktuasi hidup yang super menantang.  

Akhirnya menikah (dok. pribadi)
Akhirnya menikah (dok. pribadi)
Ternyata pendapat Ibu saya diperkuat dengan komentar Juliana Murniati, seorang psikolog yang mengutarakan bahwa di usia 25 tahun seseorang sudah cukup matang untuk membina keluarga. Mengapa demikian? Karena jika dikaitkan dengan jenjang pendidikan, seseorang yang berusia 25 tahun diasumsikan telah menyelesaikan pendidikan setara sarjana. Kalaupun sudah bekerja, setidaknya telah memiliki pengalaman 1-2 tahun di dunia profesional. 

Namun di balik komentar Ibu saya, ada paradigma lama terselip di sana. Ketika saya menengok teman seangkatan saya, memang saya tergabung golongan minoritas yang belum menikah. Teman-teman SD seangkatan kebanyakan menikah sebelum dan di awal umur 20-an. Bisa jadi Ibu khawatir saya dilabeli 'bujang tua'.

Perlu disadari bahwa banyak sekali latar belakang menikah di usia muda, salah satu yang menjadi pertimbangan adalah agar bisa menyaksikan cucu-cucunya sukses saat usia senja tiba. Namun perlu diperhatikan bahwa saat seseorang berusia 20 tahun, fase kematangan emosi, independensi, dan mengidentifikasi jati diri belum maksimal. 

Dalam sebuah wawancara Juliana Murniati menambahkan bahwa “Mengurus diri sendiri saja dan mengatasi gejolak tantrumnya masih belum mampu, apalagi jika pernikahan itu kemudian diikuti oleh kehadiran anak, hal ini tentu memunculkan persoalan sendiri,”

Sebagai tambahan, salah satu hasil penelitian tentang usia menikah yang ideal tahun lalu dipublikasikan oleh seorang sosiolog dari University of Utah. Berbekal data dari Survei Nasional Pertumbuhan Keluarga Amerika Serikat selama periode 2006-2010 dan 2011-2013, Nick Wolfinger melakukan analisis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun