Ilustrasi (www.lensaremaja.com)Awal bulan April ini, harga BBM kembali turun. Memang, berita tentang turunnya BBM tidak seseksi berita naiknya kebutuhan penting sebagian masyarakat Indonesia tersebut.
Sejak pemerintahan republik ini dinahkodai Pak Jokowi, harga BBM bisa naik atau turun dengan cepat, sesuai dengan perkembangan harga minyak dunia. Kebijakan ini tidak lain karena anggaran subsidi BBM yang selama ini dikuras dari APBN dikurangi. Sabtu (9/4/2016) siang saya dan rekan-rekan Kompasianer Jogja lainnya berkumpul di Pertamina Tower Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) untuk membahas isu tersebut. Kami diundang dalam acara diseminasi hasil kajian Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) UGM tentang Analisis Kebijakan Realokasi Subsidi BBM 2015.
Selain isu naik-turunnya harga BBM yang relatif masih hangat, bagi saya pertemuan ini sangat menarik karena masih relatif sedikit peneliti yang mengundang blogger seperti kami untuk melakukan diseminasi kajiannya. BBM yang selama ini selalu menjadi alasan dibalik naiknya berbagai harga komoditas yang dikonsumsi masyarakat, perlu diketahui ke mana larinya anggaran subsidi yang telah dicabut.
Duet peneliti P2EB yang melakukan penelitian, Pak Rimawan Pradiptyo dan Mas Abraham Wirotomo, memaparkan hasil kajiannya. Paparan diawali dengan data yang menunjukkan bahwa baru di masa pemerintahan Pak Jokowi inilah subsidi BBM hanya 3,38% dari seluruh total belanja negara. Persentase tersebut bahkan lebih kecil dibanding pada masa Indonesia menjadi net-oil exporter pada tahun 1970-an hingga awal tahun 2000-an. Terhitung mulai diterapkannya APBN-P 2015, anggaran untuk subsidi BBM dipotong dari Rp 276 T menjadi hanya Rp 65 T saja.
Dari pemotongan ini, terdapat dana sebesar Rp 211 T yang dapat dialokasikan ke anggaran lainnya. Ke mana larinya?
Dari hasil kajian, peneliti P2EB UGM menemukan bahwa sebagian besar pengurangan anggaran subsidi BBM mengalir untuk menambah anggaran kementerian atau lembaga negara, dan sebagian kecil lainnya dialirkan untuk menambah dana transfer ke daerah dan mengurangi defisit.
Apakah realokasi subsidi BBM masuk ke BUMN? Tambahan dana untuk suntikan PMN (penyertaan modal negara) ke BUMN tidak dari penghematan anggaran subsidi BBM, namun realokasi lain di dalam anggaran pembiayaan.
Dari berbagai kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah, lima kementerian penerima tambahan anggaran terbesar setelah adanya realokasi subsidi BBM adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kesehatan. Kementerian Pertanian menikmati peningkatan angggaran sebesar 106% dan Kementerian Perhubungan bertambah 45% setelah ada ‘suntikan’ anggaran dari realokasi BBM.
Sementara itu, data yang dikumpulkan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), beberapa argumen muncul melihat kebijakan realokasi anggaran BBM yang diterapkan oleh pemerintahan sekarang. Kurangnya pelibatan publik, transparansi mengenai penggunaan realokasi yang belum maksimal, belum fokusnya program-program yang dijalankan, perhatian terhadap energi alternatif yang masih minim, dan kurangnya perencanaan menjadi kompleksitas yang dianggap perlu segera dibenahi pemerintah.
Tidak hanya itu, dari sisi kementerian/lembaga negara sebagai penerima aliran dana realokasi subsidi BBM ternyata juga muncul kompleksitas yang dihadapi. Budaya asal bapak senang, payung hukum yang tidak mendukung, koordinasi yang tidak lancar, dan ketidaksesuaian kapasitas lembaga terhadap penambahan anggaran menjadi masalah tersendiri saat menerima kucuran dana realokasi subsidi BBM.
Peneliti P2EB UGM juga menemukan beberapa dampak adanya kebijakan realokasi subsidi BBM. Dari sisi fiskal, penerimaan negara bergeser pada sektor non migas. Kebijakan realokasi mengurangi risiko fiskal terhadap fluktuasi perubahan harga minyak mentah dunia. Selain itu, kebijakan realokasi juga mengurangi risiko fiskal terhadap fluktuasi perubahan nilai tukar. Hal ini sangat logis, karena seluruh impor BBM dibeli dengan mata uang asing.
Namun, kebijakan realokasi meningkatkan sensitivitas anggaran terhadap perubahan inflasi. Artinya saat ini memang harga minyak dunia sedang turun sehingga harga BBM pun bisa lebih murah. Namun hal ini dikhawatirkan berbalik, naiknya harga minyak dunia akan berdampak pada harga BBM yang lebih tinggi, akibatnya kemungkinan risiko terjadinya kenaikan harga barang dan jasa menjadi lebih besar.
Selain itu, kebijakan realokasi juga meningkatkan sensitifitas anggaran terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Bergesernya anggaran yang semula digunakan untuk subsidi BBM cenderung meningkatkan risiko fiskal terhadap fluktuasi pertumbuhan ekonomi mengingat kemungkinan pertumbuhan dibawah target lebih mungkin terjadi.
Peneliti P2EB UGM juga membuat dua skenario penggunaan dana realokasi subsidi BBM. Hasilnya adalah jika dana realokasi subsidi BBM digunakan sepenuhnya untuk pengembangan sektor minyak bumi, dampak yang dihasilkan tidak sebanyak jika dialirkan ke sektor-sektor perekonomian sesuai dengan struktur APBN-P.
Sebagai implikasi kebijakan, Peneliti P2EB UGM merekomendasikan agar pemerintah menghapus subsidi BBM. Meskipun ada beberapa shock yang terjadi, namun ditemukan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan ini memberi dampak positif. Tentu saja jika dana realokasi subsidi BBM tersebut digunakan untuk kegiatan dan program yang produktif, bukan konsumtif. Selain hal tersebut, pemerintah juga dianjurkan untuk meningkatkan perhatiannya dalam mengembangkan energi alternatif. Pemerintah sudah semestinya menyadari bahwa sumur minyak yang ada di negeri ini adalah sumur-sumur tua, di sisi lain Indonesia dianugerahi berbagai kekayaan potensi energi alternatif yang melimpah di hampir semua wilayahnya.
Saya tertarik dengan rekomendasi P2EB UGM berikutnya yang meminta pemerintah agar sepenuhnya menerapkan reformasi birokrasi. Karena penambahan dana menjadi tidak optimal apabila birokrasi masih dipasung oleh budaya “asal bapak senang” yang masih dominan, kurangnya koordinasi (masalah ego sektoral antar kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang masih tinggi), perencanaan penggunaan anggaran yang cenderung kurang matang, serta kurangnya dukungan payung hukum yang jelas dalam pelaksanaan kebijakan.
Berikutnya, para peneliti P2EB UGM juga sangat berharap agar pemerintah segera menerapkan Outcome Based Evaluation (OBE) daripada terus melanggengkan mekanisme penilaian dari penyerapan anggaran. Pemerintah sudah waktunya move on dari paradigma penyerapan anggaran sebagai output kinerja dan beralih ke urusan outcome. Bagaimana pun juga, tujuan atau janji negara ini dibentuk untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, bukan untuk menghabiskan anggaran semata.
Sebagai bagian dari rakyat, mungkin dengan sukarela kita merasakan harga BBM yang naik dan turun karena anggaran subsidi yang dicabut digunakan untuk segala kepentingan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Namun, kita tak akan rela jika dana tersebut digunakan sewenang-wenang oleh kalangan tertentu, apalagi untuk hal-hal yang merugikan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H