Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi dari Pak Hanafi, Pedagang Sepatu Lulusan Teknik Geodesi

13 April 2016   15:16 Diperbarui: 13 April 2016   18:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pak Hanafi saat ditemui di kiosnya di Pasar Bringharjo, Yogyakarta"][/caption]Waktu yang tersedia kian mendesak. Setelah masuk dan keluar di dua toko sepatu, barang yang saya inginkan tetap belum ditemukan. Dengan cepat pilihan pun diputuskan untuk menuju Pasar Bringharjo, sebuah pasar legendaris di jantung Kota Yogyakarta.

Langkah saya berjingkat menuju los pasar di lantai satu. Di lantai dasar inilah dijual batik, aneka pakaian, hingga urusan alas kaki. Dari jauh saya melihat beberapa kios yang menjajakan sandal dan sepatu, namun sayang saat saya mendekat ternyata hanya menyediakan alas kaki untuk perempuan.

Pandangan saya pun segera beralih ke los-los pasar lainnya. Di sebuah kios saya melihat sandal-sandal plastik digantung. Mungkin di kios tersebut ada sepatu yang saya cari. Saya pun mendekat.  

Benar saja. Sepatu dengan bahan dasar plastik saya temui di sini. Setelah tawar-menawar harga, sepatu yang saya butuhkan berhasil saya beli setengah harga dari toko sepatu yang saya datangi sebelumnya.

[caption caption="Koleksi sepatu yang dijual Pak Hanafi"]

[/caption]Saya mulai menebak dari gestur dan cara berbicaranya, penjual sepatu ini mungkin bukan seorang pedagang biasa. Aksi tawar-menawar harga yang terjadi sebelumnya, kini berubah seakan menjadi sesi tanya-jawab. 

Dengan raut wajah yang ramah, pedagang sepatu mulai menanyaiku tentang tempat tinggal, keluarga, dan pertanyaan-pertanyaan personal lainnya.

Saat giliran saya bertanya balik kepadanya, beliau pun mulai bercerita. Nama pedagang sepatu ini adalah Pak Hanafi. Tahun ini usianya genap 47 tahun. Saya pun mulai mengajukan beberapa pertanyaan tambahan kepadanya, dan langsung diberi jawaban-jawaban yang membuat saya semakin tertarik untuk berbincang lebih jauh.

Pak Hanafi dulunya kuliah di Teknik Geodesi UGM hingga selesai dan menyandang gelar sarjana. Bahkan beliau sempat melanjutkan ke tingkat magister. Namun karena ketiadaan biaya, kuliah S2-nya urung dirampungkan. 

Pak Hanafi kemudian memutuskan untuk bekerja. Pekerjaan yang beliau pilih membuatnya harus berkeliling dari Sumatera, Kalimantan, hingga menginjakkan kaki di Maluku. Seketika ketertarikan saya bertambah mencermati kisah petualangannya di berbagai wilayah di Nusantara.

Setelah beberapa tahun bekerja, Pak Hanafi memutuskan untuk memulai berwirausaha. Keramik adalah dunia yang digeluti saat itu. Keuntungan yang diraih dari usaha kerasnya mampu membuat keluarganya kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup, bahkan sampai urusan sekunder. 

Namun sayang, usaha yang dirintis dengan penuh perjuangan harus terhenti karena beliau tertipu oleh seorang rekan. Beberapa aset usaha dan modal berupa sejumlah uang dibawa lari dan tak ada kabar dari rekannya hingga kini. Pak Hanafi collaps, keluarganya pun shock.  Kondisi ekonomi keluarganya terguncang hingga harus menumpang tempat tinggal di tempat saudaranya. 

"Apa yang membuat Bapak paling sedih kala itu Pak?" tanyaku. 

"Saya masih sangat ingat saat saya dan anak saya melintas di sebuah rumah makan, anak saya bilang begini: Pak, kayanya kita sudah lama ndak makan di situ. Hatiku nreces Mas. Dulu makanan yang paling mahal sekalipun, bisa saya beli. Tapi saat saya collaps, boro-boro makan enak, bisa makan saja sangat Alhamdulillah," jawab Pak Hanafi.

"Lalu, bagaimana caranya Bapak bisa kembali kuat seperti sekarang?" aku berusaha mengarahkan pembicaraan.

"Kerja sekeras-kerasnya dan secerdas-cerdasnya, Mas. Saya sempat jualan kerupuk keliling, istri juga jualan makanan. Pelan-pelan kita mengumpulkan modal sebisanya. Berbisnis kecil-kecilan, mulai dari nol lagi. Sampai akhirnya bisa membeli satu kios di Pasar Bringharjo ini. Alhamdulillah, saya membuktikan Sabda Nabi kita SAW, bahwa 9 dari 10 pintu rejeki ada di perdagangan. Sekarang saya sudah punya 4 kios di pasar ini, Mas," seru Pak Hanafi sambil tersenyum. 

Pak Hanafi dulunya juga bersekolah di salah satu SMA favorit di Jogja. Saat reuni tiba, dengan percaya diri beliau datang mengendarai sepeda motor meskipun teman-teman seangkatannya sudah banyak yang mengendarai mobil mewah. 

"Apa yang mau saya sombongkan, Mas? Semua milik Tuhan, apa yang kita miliki di dunia ini hanya titipan. Suatu saat akan diminta kembali. Lebih baik tampil sederhana saja," demikian Pak Hanafi memungkasi perbincangan hangat bersama saya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun