"Apa yang membuat Bapak paling sedih kala itu Pak?" tanyaku.Â
"Saya masih sangat ingat saat saya dan anak saya melintas di sebuah rumah makan, anak saya bilang begini: Pak, kayanya kita sudah lama ndak makan di situ. Hatiku nreces Mas. Dulu makanan yang paling mahal sekalipun, bisa saya beli. Tapi saat saya collaps, boro-boro makan enak, bisa makan saja sangat Alhamdulillah," jawab Pak Hanafi.
"Lalu, bagaimana caranya Bapak bisa kembali kuat seperti sekarang?" aku berusaha mengarahkan pembicaraan.
"Kerja sekeras-kerasnya dan secerdas-cerdasnya, Mas. Saya sempat jualan kerupuk keliling, istri juga jualan makanan. Pelan-pelan kita mengumpulkan modal sebisanya. Berbisnis kecil-kecilan, mulai dari nol lagi. Sampai akhirnya bisa membeli satu kios di Pasar Bringharjo ini. Alhamdulillah, saya membuktikan Sabda Nabi kita SAW, bahwa 9 dari 10 pintu rejeki ada di perdagangan. Sekarang saya sudah punya 4 kios di pasar ini, Mas," seru Pak Hanafi sambil tersenyum.Â
Pak Hanafi dulunya juga bersekolah di salah satu SMA favorit di Jogja. Saat reuni tiba, dengan percaya diri beliau datang mengendarai sepeda motor meskipun teman-teman seangkatannya sudah banyak yang mengendarai mobil mewah.Â
"Apa yang mau saya sombongkan, Mas? Semua milik Tuhan, apa yang kita miliki di dunia ini hanya titipan. Suatu saat akan diminta kembali. Lebih baik tampil sederhana saja," demikian Pak Hanafi memungkasi perbincangan hangat bersama saya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H