Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merancang Pendidikan Anak di Antara Tiga Semesta

30 Oktober 2015   11:49 Diperbarui: 30 Oktober 2015   11:49 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi perlindungan keluarga (foto Brian Jackson/Alamy www.theguardian.com)"][/caption]

Hingga saat ini, saya masih terus terngiang dengan salah satu pesan Ki Hajar Dewantara; “Tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia yang merdeka lahir dan batin”. Bagi saya pesan tersebut cukup singkat, namun maknanya sangat dalam jika memperhatikan konsepsi pendidikan yang selama ini ada di Indonesia.  

Turunan dari petuah Bapak Pendidikan Indonesia tersebut dapat beraneka rupa dalam pandangan saya. Diantaranya adalah bagaimana membentuk anak Indonesia yang kreatif (pikiran yang tidak terkekang), adaptif terhadap perubahan, dan mandiri (memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan set of skill yang memadai). Dari kacamata ini pula, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sebuah media, tujuan utamanya adalah membuat manusia yang seutuhnya merdeka.

Saya yang sebelumnya pernah menjadi pendidik dan sering terlibat dalam dunia pendidikan secara formal, sering menekankan bahwa pendidikan idealnya memang berpusat pada manusianya. Rasanya memang mudah mengucapkannya. Namun dalam pelaksanaannya, berbagai hal muncul menjadi tantangan dan terkadang membuat kita lupa esensi pendidikan. 

Kini saya dan istri telah menjadi orang tua, sepenuhnya memiliki kewajiban sebagai pendidik yang pertama bagi anak kami. Beragam cara pun dipersiapkan agar anak kami melalui proses pendidikannya dengan baik. 

Kita mungkin sepakat dan mafhum bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Namun seringkali proses pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan, dan peran orang tua dalam pendidikan anak seolah telah selesai ketika sudah memberikan wewenang untuk mendidik kepada lembaga tersebut.

Padahal, proses pendidikan anak tidak hanya terjadi di sekolah. Dalam sehari, anak akan bertemu dengan tiga lingkungan; keluarga, sekolah, dan masyarakat. Inilah tiga semesta pendidikan yang dihadapi dan secara langsung berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak secara fisik, psikologis, sosial, dan religius.

[caption caption="ilustrasi hubungan anak dan tiga semestanya; keluarga, sekolah, dan masyarakat "]

[/caption]

Keluarga menjadi lingkungan dasar proses pendidikan anak dimulai, baik saat fase prenatal (sebelum kelahiran/dalam kandungan) maupun postnatal (masa setelah anak lahir). Sebagai keluarga muda, beragam wacana mulai direncanakan untuk mengurusi proses pendidikan anak kami dari rumah. Mulai dari menata kondisi rumah yang nyaman untuk bermain dan berbagai aktivitas yang dilakukan anak, menyiapkan segala perlengkapan terbaik untuknya semasa batita, balita, dan seterusnya.  

Giliran memikirkan tentang pendidikan anak pra-SD, kami cukup pilih-pilih mencarikan tempat yang tepat untuk anak kami. Kami berkeinginan menempatkan anak di tempat pra-sekolah terbaik karena masa-masa batita dan balita dianggap sebagai golden age pertumbuhan anak. Kemudian saat masa-masa melalui proses pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi nanti, kami juga berharap si anak bisa melaluinya di institusi pendidikan yang bonafid.

Sayangnya ketika melihat banderol harga pendidikan yang dibilang favorit, harganya cukup melangit. Pilihan pun akhirnya berubah. Anak tidak ingin kami paksa untuk disekolahkan di sekolah tertentu yang terkenal, karena biasanya juga mahal. Yang terpenting adalah anak bisa belajar di tempat yang mendukung penguatan karakternya. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing, tak melulu kecerdasan eksakta saja yang diunggulkan. Dalam hal ini kami sepakat dengan konsep multiple intelligence yang sering diutarakan oleh Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan yang malang melintang di berbagai seminar pendidikan nasional dan menerbitkan beberapa buku best seller tentang pendidikan.

Kami beruntung karena hidup di Jogja, beragam pilihan pendidikan untuk menopang penguatan karakter anak tersedia di sini. Belajar musik, menari, dan jalur seni lainnya relatif banyak. Mau mendalami agama dengan beragam metode juga cenderung mudah ditemukan.

Kami menganggap penguatan karakter ini penting karena berhubungan erat dengan kemampuan hidup anak kami di tengah masyarakat. Perasaan empati, kemampuan berkomunikasi, kepemimpinan, dan yang lebih penting memiliki moral yang baik lebih mudah terserap lewat pendidikan karakter. Selain itu, anak juga memperoleh set of skill yang bisa digunakan saat berada di tengah masyarakat. Karena kami juga berharap anak kami bisa melebarkan manfaat kehadirannya bagi lingkungan yang lebih besar. 

Namun biasanya kegiatan-kegiatan tersebut justru masuk kegiatan ekstra, porsi di dalam kegiatan intrakurikuler hanya 2 jam pelajaran saja tiap minggunya. Maka mau tidak mau anak harus menambah jam belajar di luar sekolah. Dan artinya sebagai orang tua kami harus mengalokasikan dana tambahan untuk menunjang proses pendidikan karakter ini berjalan lancar.

Pertanyaan penting dari beragam rencana kami di atas adalah; biaya untuk pendidikan anak kami bagaimana?

[caption caption="Ilustrasi kebutuhan dana untuk pendidikan anak (www.yourmoney.com)"]

[/caption]

Untuk menjawabnya, secara perlahan saya dan istri menerapkan beberapa langkah berikut ini:

Perencanaan yang matang

‘He (or she) who fails to plan is planning to fail’ begitu kata Winston Churchill. Dalam merancang pendidikan untuk anak juga perlu perencanaan yang matang. Salah satunya adalah mengenai perencanaan dalam mengatur jarak usia anak-anak kita.  

Selisih usia antar anak relatif berpengaruh terhadap kondisi ekonomi keluarga. Saya mengalami sendiri tentang hal ini. Jarak usia saya dan kakak saya tepat 3 tahun. Di saat yang bersamaan, saya akan masuk SMP, kakak melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA. Tiga tahun berikutnya, saya akan masuk SMA, sementara kakak bersiap kuliah di perguruan tinggi. Akibatnya, orang tua sering mengalami pengeluaran yang relatif besar setiap siklus tiga tahunan tahun ajaran baru tiba.

Maka, sebaiknya direncanakan dengan baik agar jarak usia anak-anak kita tidak terlalu dekat maupun terlalu jauh, dan kalau bisa memang menghindari siklus tiga tahunan. Tetapi bagaimanapun juga anak adalah amanat dari Sang Penguasa. Jika telah hadir di tengah kita, harus diperlakukan sebaik-baiknya. 

Untuk menghindari permasalahan ekonomi di dalam keluarga, bagi yang merasa penghasilan perbulan belum stabil, alangkah baiknya menggunakan prinsip tabungan minimal. Artinya setiap bulan usahakan ada sisa uang minimal yang ditabung dari penghasilan yang diperoleh untuk urusan pendidikan anak-anak kita. Tabungan ini disesuaikan dengan proporsi penghasilan. Bentuk tabungan pun tidak hanya uang, tetapi bisa dalam wujud perhiasan, bahkan mungkin benda-benda yang akan dipakai saat usianya beranjak besar.

Selanjutnya jika anda berpikir untuk lebih aman, silahkan mengikuti program asuransi pendidikan atau investasi untuk pendidikan anak. Banyak varian produk yang ditawarkan dengan tujuan untuk menyiapkan masa depan anak-anak dengan menghindari risiko ketidakpastian di masa depan.

Pentingkan esensi dari pada gengsi

Di era seperti sekarang, sering kita saksikan terkadang anak-anak diperlakukan sesuai dengan pergaulan orang tuanya. Contohnya, gegara orang tua melihat postingan yang menurutnya menarik di social media, orang tua menerapkan gaya hidup orang lain kepada anaknya.

Mungkin semua orang tua ingin memberi yang terbaik bagi anak-anaknya, namun tak jarang beberapa hal dipaksa mengikuti ‘apa yang ngetren’ dibanding ‘apa yang dibutuhkan’.

Sering sekali saya dan istri berdiskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan anak kami. Salah satunya adalah ketika berdiskusi tentang sekolah. Kami tak ingin terjebak pada tren semata, tetapi memilih sekolah karena esensi, bukan karena gengsi. Jka diikuti, gengsi tak akan ada habisnya, sementara pengeluaran mau tak mau harus dibatasi.

Anak yang kreatif dimulai dari orang tua yang inovatif

Anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang dilihat oleh anak, biasanya akan ditiru. Jika ingin anak kita menjadi anak yang kreatif, maka lingkungannya juga sebaiknya mendukungnya untuk kreatif. Meskipun anak-anak bergaul di sekolah dan di masyarakat, pengaruh pertama pada tumbuh kembang anak adalah orang tuanya. Maka tampilkanlah hal-hal inovatif agar anak-anak memiliki sense of creativity yang tinggi.  

Di keluarga kecil kami, salah satu dari sekian banyak inovasi yang kami lakukan kepada anak adalah dengan mengganti tayangan televisi yang kurang bermutu dengan tayangan-tayangan menarik dari beragam video. Selain kemampuan verbal, kemampuan kinestetis anak juga bisa dilatih melalui video-video yang memang layak ditonton untuk anak-anak sesuai usianya. Video-video tersebut mudah diakses melalui berbagai cara, dan relatif terjangkau secara biaya.  

Membebaskan segala aktivitas anak dengan landasan kasih sayang

Melihat cepatnya laju jaman, sebagai orang tua memang perlu melakukan banyak penyesuaian dalam mendidik anak-anak. Kita tak bisa serta merta menyatakan, “jaman bapak dan ibumu kecil dulu begini, jadi kamu harus begini”. Konsep tersebut menurut kami perlu sedikit diluruskan, mengingat konteks jaman telah berbeda.

Atas dasar kasih sayang, biarkan anak memilih bidang yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Karena kita sebagai orang tua tentunya akan bahagia ketika melihat mereka bahagia. 

Kami jadi terpikir kembali tentang definisi sekolah yang dalam bahasa latin bermakna waktu luang. Konsep dasar sekolah adalah aktivitas di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa cerianya sebagai anak-anak. 

Usahakan sedari awal memberikan kemerdekaan kepada anak-anak. Berikan kebebasan kepada anak dalam menentukan pilihan, terutama selama melalui proses pendidikannya. Tugas orang tua hanyalah mendampingi dengan penuh kasih sayang agar anak-anak bisa menjadi manusia merdeka yang piawai dalam melakoni hidup di tiga semesta; keluarga, sekolah, dan masyarakatnya. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun